Senin, 25 Februari 2013

Berkunjung ke Damalung


Langkah kaki saya terhenti di sebuah rumah yang terpasang papan bergambar rute pendakian Gunung Merbabu , terlihat beberapa pendaki melakukan breafing untuk memulai perjalanan. Saya masuk ke dalam rumah yang telah penuh sesak dengan motor juga sebuah lemari kaca yang memajang souvenir dan peralatan pendakian seperti senter, baterai, kaos tangan dan sebagainya. Ruang tengah berisi dipan rendah tempat istirahat demikian pula bagian dapur rumahnya. Sebuah tungku kayu bakar atau disebut dengan ‘luweng’ menjadi titik sempurna untuk berkumpul ketika dingin menyapa. Teman-teman sesama pendaki menyebut rumah ini sebagai basecamp. Si empunya rumah, Sutiyoso (kami menyebutnya Mbah Yos) selalu menyambut kami dengan kehangatan khas desa . “Sugeng to nak, rombongan saking pundhi niki ? “ (Bagaimana kabarnya, nak. Rombongan dari mana ini?). “Dari Jogja mbah”. Begitu dan obrolan akan berlanjut mengenai situasi terakhir Merbabu. Masalah pendaki, air, jalur atau perkara kebakaran hutan.

Merbabu sebuah gunung yang bersebelahan dengan Gunung Merapi. Gunung Merbabu memiliki 7 puncak yang dikagumi para penggiat alam bebas. Gunung yang terletak di 3 kabupaten; Semarang, Boyolali, dan Magelang menjadi favorit para pendaki gunung, karena memiliki jalur pendakian yang beragam dengan berbagai tingkat kesulitan. Ada 4 jalur resmi pendakian yang familiar di kalangan pendaki, yakni; Thekelan, Selo, Cuntel dan Wekas. 4 jalur dengan jarak dan tingkat kesulitan berbeda akan bertemu di puncak utama dengan ketinggian 3142 Mdpl.  Wekas adalah sebutan populer untuk jalur bagian selatan, sedang secara administratif basecamp ini berada di Desa Kaponan, Magelang.

Jalur Wekas merupakan jalur  terpendek untuk sampai di Puncak Merbabu, dengan panjang rute sekitar 4,54 km. Jalur setapak dengan mengikut alur pipa air yang dipasang penduduk, dengan medan yang tidak terjal dan cukup landai bisa dijadikan rujukan untuk para pemula. Hutan yang rimbun melindungi dari terik matahari, sehingga tidak begitu menguras tenaga berlebih. Sepajang jalur pendakian ada instalasi air, sehingga ketersediaan air cukup aman, sebab bisa diambil dari bak-bak penampungan atau rembesan dari pipa yang bocor.

Selain Wekas ada 3 Jalur lain yang populer, yaitu Jalur Thekelan, Cuntel dan Selo. Jalur Thekelan di mulai dari kawasan objek wisata Umbul Songo, Kopeng, Salatiga. Dari Umbul Songo para pendaki harus mengarahkan perjalanan ke Desa Thekelan. Desa ini merupakan desa terakhir.  Jalur cuntel juga di mulai dari kawasan wisata Umbul Songo. Dari sini pendaki harus mengarahkan perjalanan ke Desa Cunthel. Perjalanan dari Umbul Songo menuju Basecamp Desa Cunthel ini melewati hutan pinus dan ladang penduduk. Sedangkan jalur pendakian Selo (dari arah utara) dimulai dari Desa Selo (Boyolali). Desa terakhir yang ditemui jika melewati jalur ini adalah Desa Tuk Pakis. Perjalanan dari Selo ke Tuk Pakis memakan waktu sekitar satu jam.

Gunung Merbabu dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda. Gunung Merbabu merupakan gunung api tua. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1968 menyebabkan erosi sehingga membentuk dataran tinggi yang lebar dan terpisah pada puncak-puncaknya, yang kemudian membentuk kaldera yang telah mati seperti Kawah Condrodimuko, Kawah Kombang, Kawah Kendang, dan Kawah Sambernyowo.

2 jam berjalan dari basecamp Wekas, sampailah saya di sebuah pelataran yang luas dan biasa digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda. Air yang tersedia ditempat tersebut cukup melimpah, sehingga menjadi lokasi favorit pendaki untuk membangun kemah. Pepohonan yang mengelilingi juga memberikan perlindungan dari hembusan angin dan paparan sinar matahari. Sejenak beristirahat sambil memandang puncak-puncak Merbabu yang jelas terlihat dari lokasi ini. Puncak Watu tulis dengan pemancar yang menjulang, Puncak Kukusan yang berada di tengah lembah, serta Puncak Syarif dan Kenteng Songo yang berdiri berdampingan.

Di pos II inilah saya memutuskan untuk bermalam. Dalam tenda yang hangat, diselingi aktivitas menyiapkan menu makan malam. Memasak adalah salah satu moment yang ditunggu, sambil mengelilingi perapian dari kompor berbahan bakar alkohol. Secangkir teh hangat, sepiring nasi goreng dan beberapa camilan, menu sederhana namun terasa mewah saat dihidangkan diketinggan 1900 Mdpl . Santap malam bersama rekan-rekan pendaki, sambil diiringi canda tawa telah mengusir rasa lapar, dahaga dan lelah setelah setengah hari berjalan mendaki.

Malam semakin larut, bintang mulai bersinar dan tak kalah dengan lampu-lampu di bawah sana yang gemerlapan. Temaram cahaya bulan, menerangi malam yang dingin dan hembusan angin yang membekukan suasana. Cahaya hangat dari dalam tenda, seberkas sinar dari pancaran headlamp, gemerlap cahaya lampu kota dan nan jauh di sana bintang ribuan tahun cahaya menghiasi angkasa menemani rembulan yang bersinar. Saatnya istirahat, setelah semua barang dikemas dan diberesi agar esok pagi siap untuk dipergunakan. Malam yang dingin, namun terasa hangat dalam naungan tenda dan berbelutkan kantung tidur beralaskan matras yang empuk. Alam mimpi menjemput dan saatnya tubuh beristirahat untuk persiapan perjuangan mendaki puncak keesok harinya.

Jam 04.00 saya beserta beberapa pendaki memulai perjalanan summit attact. Jaket dengan lapisan penahan angin, headlamp selalu siaga untuk memberikan penerangan dan sepatu trekking untuk menjaga keamanan kaki disaat melangkah. Rute setelah Pos II  menanjak menuju pertemuan dengan jalur Cuntel dan Tekelan. Jalan setapak dengan dinaungi pepohonan yang rimbun.  Jalan tanah kini sudah berganti bebatuan yang menandakan segera sampai di pertemuan jalur. Arloji menunjukkan pukul 05.20, matahari mulai menampakkan cahayanya. Sebelah barat kami Gunung Sumbing dan Sindoro berdiri dengan gagahnya. Langkah kaki berhenti disebuah pertigaan jalur dan sejenak beristirahat sambil menikmati matahari terbit.

Jembatan Setan, begitu pendaki menyebut sebuah tanjakan di depan mata yang nampak curam. Dengan perlahan tubuh merambat di sebuah bukit yang memanjang dengan sisi kanan kiri jurang yang menganga. Embun pagi yang membasahi tubuh seolah tidak menghalangi kaki untuk terus melangkah menuju puncak. Jalur semakin menyempit dan panjang nampak seolah berjalan di punggung sapi, sehingga lokasi ini dinamakan "Geger Sapi". Berjalan terus dengan jalur yang semakin terjal, dan kali ini langkah kaki harus berhenti di pertigaan. jalur yang kekiri menuju Puncak Syarif dan yang kanan menuju Puncak Kenteng Songo.

Puncak Syarif menjadi tujuan pertama. Hanya berjalan sekitar 5 menit, maka sampailah disebuah puncak dengan ketinggian 3119mdpl. Puncak yang dinamakan Syarif, konon ada seorang yang bernama Syarif melarikan diri dari Belanda pada jaman penjajahan dahulu dan bersembunyi di puncak gunung. Cerita pelarian Syarif yang melegenda, sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu Puncak di Gunung Merbabu. Sejenak menikmati keindahan matahari terbit dari puncak disisi selatan Merbabu.

Perjalanan dilanjutan, dan saatnya menuju puncak yang tertinggi di Gunung Merbabu. Melewati sebuah punggungan yang panjang dan sebuah tanjakan yang sangat terjal yang diberi namakan "Ondo Rante", maka sampailah di Puncak Kenteng Songo. Sebuah puncak yang namanya dihubungkan dengan adanya batu kenteng yang berjumlah sembilan. Sebuah batu bulat dengan lubang ditengahnya, menjadi penanda puncak Kenteng Songo. Sangat disayangkan, sebuah simbol alam harus menjadi korban tangan jahil dengan coretan, dan pengrusakan batu yang dianggap keramat tersebut.

Belum lengkap jika belum menginjakan kaki dipuncak sejati Gunung Merbabu dengan ketinggian 3142mdpl. Hanya 3 menit berjalan, maka sampailah di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Dari tempat ini, seolah berdiri ditengah-tengan Jawa Tengah. Di sisi Selatan berdiri megah Gunung Merapi yang angker, disisi barat Sindoro Sumbing berdiri kokoh, disisi utara Gunung Andong, Telomoyo, Ungaran dan Muria nampak jelas, dan sisi timur nampak samar Puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu. Seluruh permukaan Gunung Merbabu, terlihat jelas dari segala penjuru disaat mata memandang seluas-luasnya.


Sabtu, 12 Mei 2012

Saya Memilih Belanda!

Beberapa hari yang lalu saya datang dalam sebuah diskusi peluncuran buku biografi dari Budi Wahyuni. Seorang penggiat gender yang kiprahnya sudah tidak di ragukan lagi. Saya membaca curriculum vitae yang berada di bagian belakang buku biografinya. Beliau ini pernah menempuh pendidikan di Belanda. Terbersit di pikiran saya untuk meneruskan pendidikan di jenjang pasca sarjana. Yah.. meskipun saat ini saya belum menyelesaikan kuliah sarjana saya. Hehe..
Well, ada beberapa pertimbangan yang membuat saya ingin meneruskan kuliah pasca sarjana ke Belanda :
  •  Belanda adalah salah satu negara yang mempunyai perguruan tinggi dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan meskipun negara ini mempunyai bahasa ibu bukan bahasa inggris. Bukannya kemudian saya tidak mau mempelajari bahasa Belanda, namun saya rasa tawaran ini sangat memudahkan mahasiswa yang ingin melanjutkan studinya ke negara tersebut.
  • Belanda adalah negara yang sampai saat ini saya mempunyai kesan bahwa negara tersebut adalah negara yang ramah dengan semua orang. Banyak sekali orang Indonesia yang nyaman tinggal di sana. Sedikit indicator bahwa Belanda bersikap terbuka dengan semua yang datang dan tinggal di sana.
  • Belanda adalah sebuah negara yang letaknya strategis. Banyak hal yang membuat saya ingin datang ke Eropa dan saya kira akses tersebut akan lebih mudah ketika saya bisa tinggal di Belanda.
  • Di Belanda saya memiliki lebih banyak koneksi di banding dengan negara lain di Eropa. Saya rasa alasan terakhir ini akan lebih mempermudah saya ketika saya memang bisa mengambil studi ke sana.
 Diluar itu, saya merasa pendidikan di Belanda bisa membuat saya lebih berkembang. Saya beberapa kali sempat berkerja sama dengan orang Belanda dan saya benar-benar merasa terinspirasi dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka adalah orang kreatif yang tidak pernah berhenti menciptakan inovasi seperti tulisan saya sebelum ini. 
Jadi mulai sekarang saya  kira saya harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa mendapatkan beasiswa ke sana. Wish me luck!!


Ketika Bahasa Menjadi Batas




Saya masih ingat beberapa waktu lalu ketika saya menemani seorang teman dari Belanda yang magang di kantor tempat saya menjadi relawan. Bess, begitu saya memanggilnya. Dia memiliki ketertarikan untuk melakukan riset di kalangan pekerja seks di Sosrowijayan, Yogyakarta dan saya bertugas menemaninya untuk pengambilan data, mewawancarai beberapa perempuan pekerja seks mengenai kehidupan mereka. Saya rasa ini bukan hal mudah. Pertama adalah karena saya adalah relawan yang masih tergolong baru di isu pergorganisasian komunitas khususnya perempuan pekerja seks dan kedua, karena Bess adalah orang asing. Jadilah kami sama-sama orang ’asing’ yang berusaha mencari tahu mengenai seluk-beluk pekerja seks di Sosrowijayan.
Bess, melakukan riset ini sebagai tugas akhirnya di perguruan tinggi dan beberapa waktu lalau saya mendapat kabar darinya bahwa sekarang dia sudah lulus. Saya turut bahagia karenanya. Tapi bukan kebahagian itu yang akan saya sampaikan sekarang. Melainkan hal-hal yang kami hadapi ketika saya membantu riset Bess di Sosrowijayan.

Seperti yang saya sampaikan mengenai betapa sulitnya menggali permasalahan di kalangan pekerja seks pada awal tulisan ini. Saya dan Bess memulai riset ini dengan melakukan pemetaan di daerah Sosrowijayan, kemudian melakukan pemilihan beberapa perempuan pekerja seks untuk diwawancara secara lebih mendalam. Di sinilah semua berawal. Bagi teman-teman komunitas, bukan hal yang baru jika ada orang yang datang dan bertanya mengenai kehidupan mereka, tapi sekali ini yang datang adalah seorang warga negara asing.
Teman-teman komunitas pekerja seks merasa canggung dengan ruang perbedaan yang belum pernah mereka lampaui. Ruang perbedaan budaya atau secara teknis adalah bahasa menjadi satu alasan penolakan wawancara. Bahkan ketika saya menyampaikan bahwa saya akan membantu untuk menerjemahkannya. Awalnya saya berfikir permasalahan perbadaan bahasa ini bisa saya jembatani, tapi justru menjadi sulit ketika di lapangan saya menemukan yang sebaliknya. Habislah saya.
Hingga datanglah satu lagi kejutan Bess untuk saya. Dia sudah belajar bahasa Indonesia. Oh my God. Pada akhirnya dia menyapa beberapa orang yang akan diwawancara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya kira inilah yang membuat teman-teman komunitas pekerja seks yang menjadi narasumbernya merasa dekat dan pada akhirnya mau untuk diwawancara. Meskipun Bess belum begitu lancar berbahasa Indonesia, saya begitu terbantu dengan pemahamannya.
Satu lagi yang diberikan pendidikan Belanda yang mungkin saja, di Indonesia ini kamu tidak mendapatkannya. Kemampuan untuk menjadi seseorang yang bisa memetakan dengan baik. Thank’s Bess..it’s inspiring me..:)

Senin, 07 Mei 2012

Sebuah Pencerahan dari Negeri Tulip




Saya bukan orang yang pernah pergi mengenyam studi di Belanda. Sekedar untuk singgah ke sana saja masih berupa impian yang sampai saat ini saya masih berusaha mewujudkannya. Awal ketertarikan saya tentang studi ke Belanda adalah ketika saya berkesempatan untuk menemani 2 orang berkebangsaan Belanda untuk magang dan melakukan riset di komunitas pekerja seks Sosrowijayan.
Mereka adalah Bess Doornboss dan Maya Westerhof.  Dua teman ini datang di suatu siang ke kantor tempat saya menjadi relawan pengorganisasian komunitas yang termarjinalkan. Mereka sedang datang ke Indonesia dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di perguruan tinggi yang sedang mereka tempuh.   Bess melakukan riset mengenai kehidupan pekerja seks di Sosrowijayan atau yang lebih dikenal dengan “sarkem” dan Maya magang di LSM kami.
Suatu saat saya sempat iseng bertanya mengapa dia sampai jauh-jauh ke Indonesia untuk melakukan riset mengenai pekerja seks. Karena kalau sejauh yang saya tahu, di Indonesia riset kebanyakan dilakukan di Indonesia sendiri  atau kalau perlu tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan riset, apalagi jika riset tersebut adalah riset untuk syarat kelulusan. Dia bilang justru dengan melakukan riset di lain tempat (lain negara) ada rekomendasi yang bisa disumbangkan karena kalau melihat pekerja seks yang ada di Belanda, mereka sudah jauh di depan ketika berbicara mengenai HAM. Meskipun kemudian, memang karena negara dan pemerintah sudah membangun sistem yang yang mempunyai perspektif HAM juga. Mungkin salah satunya itu yang dibutuhkan di Indonesia, jelasnya. Saya terus terang kaget dengan statement pendek, namun lugas yang diberikan Bess.
Saya kira, kalau kebanyakan mahasiswa Indonesia tidak terlalu perduli dengan permasalahan disekitar mereka itu bukan karena mereka yang tidak perduli, namun karena sistem pendidikan di Indonesia tidak serta merta membuat peserta didik menjadi seorang yang peka. Berbeda dengan yang saya tangkap dari beberapa teman yang pernah mengenyam studi ke Belanda atau belahan dunia lain misalnya.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Belanda cenderung membuat peserta didik menjadi proaktif. lembaga pendidikan adalah sebuah sarana untuk memfasilitasi keingintahuan peserta didik bukannya malah membuat peserta didik enggan berfikir yang lain kecuali hal akademis. Lebih penting lagi adalah bagaimana fenomena-fenomena yag terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu adalah hal yang bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, maka fungsi pendidikan adalah memberikan berbagai macam sudut pandang tersebut. Itulah kemudian kenapa mahasiswa Belanda seperti Bess misalnya bisa memandang sebuah realitas dengan cara pandang yang beragam. Kalau saja sistem pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, maka kita tidak akan pernah diajarkan untuk menjadi judmental dan hanya berfikir secara parsial saja.

 Tapi seperti semua perubahan yang butuh proses, semoga sistem pendidikan di Indonesia sedang berproses untuk lebih baik.

Jumat, 17 Februari 2012

Bukan di Atas

12 Juni 2010
14.30 WIB


Bukanlah gambar mobil mewah, motor keren, atau perhiasan aduhai yang mengobati kantuk kami siang ini ketika menonton suatu acara di salah satu stasiun TV swasta. Melainkan gambar beberapa orang menggendong rucksack melintasi jalanan terjal di ketinggian yang berbalut kabut. Spontan kami menyahut,”Gunung mana nih?”
Beberapa detik kemudian terdengar sepenggal kalimat si narrator,”..mengitari bukit puncak Cokro Suryo..” dan Lawu-lah jawabnya. 
Penasaran kami mencoba mengidentifikasi lebih lanjut dengan mencermati keadaan di sekitar para pendaki itu. Jalur dari pos 2 Taman Sari Atas menuju Penggik melintasi pinggir jurang Pangarip-arip menutup keingintahuan kami. 
Saat itu Abi sedang menikmati tiap hisapan susu dari Ibu. Aku mencoba mencuri perhatiannya dengan berkata,”Abi, itu lho..Lawu, orang naek gunung..”
Aku tidak begitu yakin apakah si Bandel ini paham benar dengan perkataanku. Tapi paling tidak aku berhasil mendorongnya untuk sejenak memperhatikan TV. Mata kecilnya sempat tertahan beberapa saat ke layar tersebut dan tanpa celoteh sedikitpun. Maklum, saat paling nikmat bagi bayi adalah ketika meneguk susu Ibunya. 
“Besok kita ke sana, itu pos Penggik, Gaga sama Ita kalo nginep di situ. Terus kalo udah gak capek lagi baru naek ke puncak, tinggi..”,ujarku saat gubuk kuning Penggik nampak di layar TV. Abi menatap kami sambil terus menghisap susu yang Aku lupa bagaimana rasanya. 

..Itu pasti, esok nanti setelah kamu punya cukup tenaga dan waktu. Kamu akan bersama kami di tempat yang saat ini mungkin kamu belum mengerti benar tempat apa itu. Tidak perlu menunggumu tumbuh setinggi Cantigi, cukuplah ketika kamu mampu untuk mengenakan sepatu dan pakaianmu sendiri. Saat kamu mampu menggendong ransel kecil sederhanamu, saat itu pula kita sudah berada sedikit lebih tinggi daripada awan yang paling rendah. Kami ingin mengajarimu menggambar pemandangan alam versimu sendiri, bukan gambar pemandangan dua gunung mengapit matahari terbit berpayung gelombang awan yang kelak akan kamu lihat di banyak gambar kawan-kawanmu. Bahwa ada pemandangan alam yang menakjubkan dan mudah digambar, yaitu momen ketika matahari muncul di atas horizon yang sejajar dengan kakimu, dan awan itu ada jauh di bawah. Kelak kamu mampu akan mampu membuktikan perkataan kakak-kakakmu : Melihat awan tidak seharusnya selalu menengadah ke atas, cukup dengan melirik sediki ke bawah..

Write by : Anggarista A

Minggu, 29 Januari 2012

Cerita

Beberapa tulisan yang akan di tuliskan dengan label "Cerita"  merupakan reposting tulisan Anggarista yang entah  mulai kapan dia menuliskannya. Terangkum dalam agenda usang yang saya temukan ketika membersihkan kamar. Oh iya, saya juga sudah minta ijin si empunya untuk mengepostnya di blog saya ini.


menulislah dan kau akan senantiasa hidup...begitulah pesannya selalu.

Jumat, 16 Desember 2011

Saat Sumbing Memberi

Siang itu, beberapa diantara kami sedang sibuk dengan ber-packing ria dan menciptakan slide gambar-gambar pendakian Slamet di benak kami. Kebanyakan keperluan sudah di tangan, tinggal dibungkus sedemikian rupa agar semua bisa terbawa. Jelas terbayang di kami mengenai Standart Operasional Prosedure pendakian. Tidak ada satupun peralatan yang boleh tertinggal. Saya sendiri sudah membuat check list untuk persiapan akhir. Hingga kemudian Angga mengirim sms ke sebuah nomor milik TIM SAR Gunung Slamet. Entah kenapa dia melakukannya, karena sebelumnya tak pernah kami melakukan konfirmasi untuk konfirmasi pendakian selain ketika kami melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango.
Perasaan tidak enak disusul kemudian dengan jawaban yang datang melalui pesan singkat yang menyampaikan bahwa Gunung Slamet ditutup sementara karena sedang aktif. Padahal sebelumnya kami sudah mencari data melalui internet  mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pendakian Slamet. Meskipun ini ada perjalanan kali ke dua kami, namun saya dan teman-teman tidak mau gegabah, pun karena perjalanan pertama saya itu sudah sekitar 3 tahun yang lalu.
Sengaja kami tak memberitahu teman-teman melalui pesan singkat mengenai kabar tersebut. Pastilah akan ada banyak pertanyaan. Maka kami memutuskan untuk menyampaikannya ketika bertemu (pada saat kumpul sebelum berangkat). Sudah terngiang dibenak kami macam pertanyaan apa yang akan teman-teman sampaikan. Terus gimana Bang? Berarti kita gak jadi naik gunung ya? Dan pertanyaan sejenis menggempur kami ketika menyampaikan kabar yang kurang menggembirakan itu. Beberapa orang adik angkatan kami yang sangat ingin ke Gunung Slamet sempat kecewa berat pasalnya, segala hal telah dipersiapkan dan Tim tinggal berangkat saja.
Melewati diskusi yang pelik dan merancang penerobosan nekat, akhirnya tim memutuskan untuk mengubah destinasi ke Gunung Sumbing. Malam ini kami berangkat langsung menuju ke Desa Garung, di mana base camp Gunung Sumbing Berada. Menempuh 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Jogja, relatif tidak terlalu jauh. Pukul 24.00 WIB kami sampai di base camp dan sedianya kami akan menginap sebelum start pendakian esok harinya. Malam itu base camp ramai, sampai kami hampir tidak mendapatkan tempat untuk tidur. Tak banyak yang kami kerjakan malam itu hanya beberapa dari kami berbincang dengan sesama pendaki yang ternyata juga memilih mendaki Sumbing karena mendapatkan kabar mengenai ditutupnya Gunung Slamet. Ternyata nasib kurang beruntung itu tidak hanya menimpa kami. Bahkan ada dari teman pendaki tersebut yang sudah sempat menginap di basecamp Gunung Slamet, namun tetap tidak diijinkan untuk mendaki. Tim SAR mengabarkan bahwa bau belerang tercium sampai ke pos 5.
Pukul 09.00 WIB kami memulai pendakian. Pada awal perjalanan, jalur masih landai karena kami masih melewati perkampungan hingga “Papringan” yakni kawasan akhir perkampungan yang ditumbuhi pring (Bambu). Setelahnya ladang penduduk sejauh mata memandang membuat perjalanan riuh-rendah dengan sapaan petani-petani kaki Gunung Sumbing.

Ladang sebelum Pos I

Sampailah kami pada tanjakan panjang terakhir sebelum Pos 1. Kami memilih beristirahat karena pos 1 sudah lumayan dekat. Hingga kemudian ada sesosok orang yang mengejutkan kami. “ Halo, aku Otoy Pajero”. Untuk beberapa orang yang pernah melakukan pendakian ke Sumbing, tentunya menjadi tidak asing lagi, namun buat kami jelas itu menjadi hal yang agaknya kurang lebih bisa dibilang mengejutkan.
Otoy menyalami kami seraya menanyakan nama dan asal kami. Anehnya entah mengapa dia menanyakan agama kami. Kami jawab saja asal-asalan. Karena untuk beberapa orang di antara kami, hal tersebut menjadi hal yang sangat pribadi.
Kami pun meneruskan perjalanan menuju Pos 1 dengan terlebih dahulu mampir di Air terjun untuk mengisi perbekalan air kami dan tentu saja menyempatkan untuk mengambil foto. Karena tidak menaruh kecurigaan apapun terhadap Otoy maka kami pun tidak menghiraukan ketika dia mengikuti tim kami hingga kemudian tragedy itu terjadi…
Otoy menaiki tebing diatas air terjun dan berteriak “ Heh Celeng..minggat!(hei, celeng (anak babi) pergi sana!). Tidak puas dengan reaksi kami, Otoy mulai melemparkan batu sebesar kepala anak-anak ke arah kami. Melihat situasi yang tiba-tiba memanas, kami memutuskan untuk turun lagi ke tempat yang lebih aman dan meninggalkan semua barang kami di air terjun.
Seperti yang kami duga, Otoy mengikuti kami dari belakang. Dia menggumam kata maaf. Dengan raut muka yang sungguh berbeda dari sebelumnya. Jelas kami tidak menurunkan kewaspadaan, karena benar saja setelahnya dia kembali berteriak. Akhirnya kami pun mengajaknya bicara dengan baik-baik meskipun dengan batu yang kami sembunyikan di balik badan masing-masing dari kami. Otoy menyetujui untuk meninggalkan tim kami dan kembali ke bawah. Kami pun meneruskan perjalalanan ke pos 1.
Juli agaknya menjadi sedikit istimewa dengan datangnya hujan. Dibanding dengan gunung-gunung lain, gunung kembar Sindoro dan Sumbing ini menjadi gunung yang lumayan susah ditebak cuacanya. Sampai kami berangkat tadi pagi, cuaca terik mendampingi perjalanan kami, hingga kemudian perjalanan menuju pos 2 hujan turun dengan rintik yang rapat. Pukul 15.00 WIB sampailah kami di pos 2. Untunglah belum ada pendaki yang mendirikan dome di sana. Pos 2 Sumbing terletak di ketinggian 2200 mdpl. Dengan luas yang tak seberapa hingga kami pun menggegaskan langkah agar tak keduluan untuk mendirikan dome di sana.
Kami bermalam di Pos 2, rencananya summit attack ke puncak akan dilakukan dini hari nanti. Saya sendiri memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Entah kenapa badan ini sedang tidak mau diajak kompromi.

Sindoro dari Puncak Sumbing

Gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 Mdpl menjadi gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah Setelah Gunung Slamet (3428 Mdpl). Meskipun saya telah sampai ke Mahameru, Gunung Sumbing memberikan suguhan yang begitu berbeda dari hemat saya ketika mendengar cerita mengenai Sumbing. Cuacanya yang berubah-ubah, medannya yang terjal dan licin, dan bagaimana kemudian ladang penduduk  memakan habis sampai sepertiga gunung menjadi catatan tersendiri ketika memutuskan untuk berangkat mendaki ke Sumbing. Stigma sebagai gunung yang tidak terlalu bersahabat inilah yang menjadikan saya menunda-nunda keberangkatan sebelumnya. Dalam hati, bukankah kami memang dipersiapkan untuk hal tersebut??
Kali ini Sumbing sungguh istimewa, saya benar menikmati perjalanan. Tidak ada halangan yang begitu berarti kecuali kejadian Otoy kemarin. Pelajaran berharga soal menilai sesuatu. Terimakasih sahabat ketingggian, kiranya esok kita akan kembali berbagi kehangatan lewat secangkir kopi di ketinggian yang tak biasa.

Mampir Ngopi di Kledung sesaat sebelum pulang

Yogyakarta 2011