Jumat, 16 Desember 2011

Saat Sumbing Memberi

Siang itu, beberapa diantara kami sedang sibuk dengan ber-packing ria dan menciptakan slide gambar-gambar pendakian Slamet di benak kami. Kebanyakan keperluan sudah di tangan, tinggal dibungkus sedemikian rupa agar semua bisa terbawa. Jelas terbayang di kami mengenai Standart Operasional Prosedure pendakian. Tidak ada satupun peralatan yang boleh tertinggal. Saya sendiri sudah membuat check list untuk persiapan akhir. Hingga kemudian Angga mengirim sms ke sebuah nomor milik TIM SAR Gunung Slamet. Entah kenapa dia melakukannya, karena sebelumnya tak pernah kami melakukan konfirmasi untuk konfirmasi pendakian selain ketika kami melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango.
Perasaan tidak enak disusul kemudian dengan jawaban yang datang melalui pesan singkat yang menyampaikan bahwa Gunung Slamet ditutup sementara karena sedang aktif. Padahal sebelumnya kami sudah mencari data melalui internet  mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pendakian Slamet. Meskipun ini ada perjalanan kali ke dua kami, namun saya dan teman-teman tidak mau gegabah, pun karena perjalanan pertama saya itu sudah sekitar 3 tahun yang lalu.
Sengaja kami tak memberitahu teman-teman melalui pesan singkat mengenai kabar tersebut. Pastilah akan ada banyak pertanyaan. Maka kami memutuskan untuk menyampaikannya ketika bertemu (pada saat kumpul sebelum berangkat). Sudah terngiang dibenak kami macam pertanyaan apa yang akan teman-teman sampaikan. Terus gimana Bang? Berarti kita gak jadi naik gunung ya? Dan pertanyaan sejenis menggempur kami ketika menyampaikan kabar yang kurang menggembirakan itu. Beberapa orang adik angkatan kami yang sangat ingin ke Gunung Slamet sempat kecewa berat pasalnya, segala hal telah dipersiapkan dan Tim tinggal berangkat saja.
Melewati diskusi yang pelik dan merancang penerobosan nekat, akhirnya tim memutuskan untuk mengubah destinasi ke Gunung Sumbing. Malam ini kami berangkat langsung menuju ke Desa Garung, di mana base camp Gunung Sumbing Berada. Menempuh 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Jogja, relatif tidak terlalu jauh. Pukul 24.00 WIB kami sampai di base camp dan sedianya kami akan menginap sebelum start pendakian esok harinya. Malam itu base camp ramai, sampai kami hampir tidak mendapatkan tempat untuk tidur. Tak banyak yang kami kerjakan malam itu hanya beberapa dari kami berbincang dengan sesama pendaki yang ternyata juga memilih mendaki Sumbing karena mendapatkan kabar mengenai ditutupnya Gunung Slamet. Ternyata nasib kurang beruntung itu tidak hanya menimpa kami. Bahkan ada dari teman pendaki tersebut yang sudah sempat menginap di basecamp Gunung Slamet, namun tetap tidak diijinkan untuk mendaki. Tim SAR mengabarkan bahwa bau belerang tercium sampai ke pos 5.
Pukul 09.00 WIB kami memulai pendakian. Pada awal perjalanan, jalur masih landai karena kami masih melewati perkampungan hingga “Papringan” yakni kawasan akhir perkampungan yang ditumbuhi pring (Bambu). Setelahnya ladang penduduk sejauh mata memandang membuat perjalanan riuh-rendah dengan sapaan petani-petani kaki Gunung Sumbing.

Ladang sebelum Pos I

Sampailah kami pada tanjakan panjang terakhir sebelum Pos 1. Kami memilih beristirahat karena pos 1 sudah lumayan dekat. Hingga kemudian ada sesosok orang yang mengejutkan kami. “ Halo, aku Otoy Pajero”. Untuk beberapa orang yang pernah melakukan pendakian ke Sumbing, tentunya menjadi tidak asing lagi, namun buat kami jelas itu menjadi hal yang agaknya kurang lebih bisa dibilang mengejutkan.
Otoy menyalami kami seraya menanyakan nama dan asal kami. Anehnya entah mengapa dia menanyakan agama kami. Kami jawab saja asal-asalan. Karena untuk beberapa orang di antara kami, hal tersebut menjadi hal yang sangat pribadi.
Kami pun meneruskan perjalanan menuju Pos 1 dengan terlebih dahulu mampir di Air terjun untuk mengisi perbekalan air kami dan tentu saja menyempatkan untuk mengambil foto. Karena tidak menaruh kecurigaan apapun terhadap Otoy maka kami pun tidak menghiraukan ketika dia mengikuti tim kami hingga kemudian tragedy itu terjadi…
Otoy menaiki tebing diatas air terjun dan berteriak “ Heh Celeng..minggat!(hei, celeng (anak babi) pergi sana!). Tidak puas dengan reaksi kami, Otoy mulai melemparkan batu sebesar kepala anak-anak ke arah kami. Melihat situasi yang tiba-tiba memanas, kami memutuskan untuk turun lagi ke tempat yang lebih aman dan meninggalkan semua barang kami di air terjun.
Seperti yang kami duga, Otoy mengikuti kami dari belakang. Dia menggumam kata maaf. Dengan raut muka yang sungguh berbeda dari sebelumnya. Jelas kami tidak menurunkan kewaspadaan, karena benar saja setelahnya dia kembali berteriak. Akhirnya kami pun mengajaknya bicara dengan baik-baik meskipun dengan batu yang kami sembunyikan di balik badan masing-masing dari kami. Otoy menyetujui untuk meninggalkan tim kami dan kembali ke bawah. Kami pun meneruskan perjalalanan ke pos 1.
Juli agaknya menjadi sedikit istimewa dengan datangnya hujan. Dibanding dengan gunung-gunung lain, gunung kembar Sindoro dan Sumbing ini menjadi gunung yang lumayan susah ditebak cuacanya. Sampai kami berangkat tadi pagi, cuaca terik mendampingi perjalanan kami, hingga kemudian perjalanan menuju pos 2 hujan turun dengan rintik yang rapat. Pukul 15.00 WIB sampailah kami di pos 2. Untunglah belum ada pendaki yang mendirikan dome di sana. Pos 2 Sumbing terletak di ketinggian 2200 mdpl. Dengan luas yang tak seberapa hingga kami pun menggegaskan langkah agar tak keduluan untuk mendirikan dome di sana.
Kami bermalam di Pos 2, rencananya summit attack ke puncak akan dilakukan dini hari nanti. Saya sendiri memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Entah kenapa badan ini sedang tidak mau diajak kompromi.

Sindoro dari Puncak Sumbing

Gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 Mdpl menjadi gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah Setelah Gunung Slamet (3428 Mdpl). Meskipun saya telah sampai ke Mahameru, Gunung Sumbing memberikan suguhan yang begitu berbeda dari hemat saya ketika mendengar cerita mengenai Sumbing. Cuacanya yang berubah-ubah, medannya yang terjal dan licin, dan bagaimana kemudian ladang penduduk  memakan habis sampai sepertiga gunung menjadi catatan tersendiri ketika memutuskan untuk berangkat mendaki ke Sumbing. Stigma sebagai gunung yang tidak terlalu bersahabat inilah yang menjadikan saya menunda-nunda keberangkatan sebelumnya. Dalam hati, bukankah kami memang dipersiapkan untuk hal tersebut??
Kali ini Sumbing sungguh istimewa, saya benar menikmati perjalanan. Tidak ada halangan yang begitu berarti kecuali kejadian Otoy kemarin. Pelajaran berharga soal menilai sesuatu. Terimakasih sahabat ketingggian, kiranya esok kita akan kembali berbagi kehangatan lewat secangkir kopi di ketinggian yang tak biasa.

Mampir Ngopi di Kledung sesaat sebelum pulang

Yogyakarta 2011

Selasa, 29 November 2011

Celebrate Dance 4 Life, 1000 Agent of Change

Take responsibility for life....
Hiv and Aids we can beat it..take responsibiliy...

Agent Of Change 

Nyanyian itu terus membahana dengan semangat yang luar biasa. Minggu, 27 November 2011 adalah hari yang mengagumkan untuk saya. Setelah sekitar hampir 8 bulan menjalankan program Dance 4 Life di Yogyakarta akhirnya perayaan untuk Agent of Change bisa dilaksanakan. Dance 4 Life adalah program baru yang masuk dalam dalam skema pengorganisasian komunitas remaja dalam rangka penganggulangan HIV dan AIDS.

Dance 4 life sendiri adalah kampanye global yang melibatkan seluruh remaja di seluruh dunia untuk ambil bagian dari solusi penanggulangan HIV dan AIDS. Dance 4 life dimulai pada tahun 2004 di 3 negara yaitu Afrika Selatan, Belanda dan kita patut berbangga karena Indonesia menjadi salah satu pelopornya. Melalui Inspire (menginspirasi), Educate (mengedukasi), Activate (mengaktivasi) dan Celebrate ( merayakan) Dance 4 Life mengajak seluruh remaja di seluruh dunia untuk mengambil alih tanggung jawab dari solusi tersebut. Remaja-remaja yang ambil bagian tersebut disebut dengan Agent Of Change. Dance 4 life di Yogyakarta sendiri baru menyasar ke beberapa SMA dan SMP. Selain karena masih baru, juga karena tidak semua sekolah bisa memfasilitasi program dan memberi ruang kepada program untuk masuk. Selengkapnya soal Dance 4 Life

Dance 4 Life membawa isu HIV dan AIDS ini ke teman-teman remaja karena jumlah penderita HIV/AIDS di dunia terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah penderita AIDS 50%nya didominasi usia produktif antara 20-29 tahun. Sementara data dari Kementrian Kesehatan hingga bulan Juni 2010 menyebutkan angka kumulatif HIV/AIDS dari 33 provinsi di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS.


Dance 4 Life menggunakan cara baru dalam berkampanye. Karena sasarannya remaja maka Dance 4 Life menggunakan tarian, nyanyian dan musik yang sangat dekat dengan dunia remaja. Selain itu adalah karena musik adalah bahasa universal yang bisa diterima dimana saja, kapan saja dan oleh siapapun.





Celebrate Dance 4 Life dilaksanakan setiap tahun seminggu sebelum Hari AIDS Sedunia. Pada tahun 2011 ini ada 1000 orang Agent of Change yang  menari bersama dalam acara celebrate Dance 4 Life. Harapannya pada tahun 2012 nanti akan ada 2400 remaja yang mengikuti program ini.



para fasilitator..:p 

So teman-teman remaja, ini saatnya untuk ambil alih tanggung jawab dan ambil bagian. Kita bisa kena, kita juga bisa cegah. 








Yogyakarta













Jumat, 25 November 2011

Youth Forum Declaration

 on Asian Pasific Conference in Sexual and Reroductive Health Rights
Yogyakarta, 19 October 20
11 

WHEREAS, young people (10-24) comprise a significant demographic sector of Asia and Pacific which accounts for half of the world’s young population and some 850 million in the region, making us an important asset and source of opportunity for national and regional development;

WHEREAS, a large number of young people are engaged in high risk sexual behaviour of which most are unprotected, leading to issues on sexual and reproductive health such as early and unintended pregnancies, STIs including HIV and AIDS, unsafe abortion, gender-based violence; the adolescent birth rate is 53.7 for South Asia and 40.4 in South East Asia[1]. Young girls and young women are more at risk of experiencing pregnancy-related complications and may resort to unsafe abortion, thus further increasing maternal mortality. This can be attributed to lack of comprehensive sexuality education, access to reliable and unbiased sources of information and youth friendly services.

WHEREAS, developing adequate, accessible, affordable and quality Youth -Friendly Health Care Services which includes easy access to information and supply of contraceptives, maternal health services, confidential counselling- regardless of civil status to promote every young person’s Sexual and Reproductive Health and Rights.

WHEREAS, there is an increasing number of new STI, HIV and AIDS cases among young people. Providing access to treatment ,care and support among Young People Living with HIV as well as their involvement in interventions to specific key population such as harm reduction strategies is important to halt and reverse the spread of infection;

WHEREAS, harmful traditional practices like female genital mutilation and early marriages are still being practiced in some parts of the region- due to which, young people lack the knowledge and power to make informed decisions regarding their own sexual and reproductive health.

WHEREAS, policies that are discriminating to gender identity, gender expression and sexual orientation have led to sexual harassments, violence including hate crimes, and bullying which are violation of human rights of individuals;

WHEREAS, the youth should actively participate in specifying budget items for Adolescent Sexual and Reproductive Health to ensure efficient and effective utilization of limited funds and resources to achieve progressive development of maternal, child and adolescent health;

WHEREAS, there are limited venues for youth to contribute solutions and to create meaningful youth-adult partnership in all aspects of planning, implementation, monitoring and evaluating programs and policies that directly affect our lives;

NOW THEREFORE, We, the youth representing different sectors of young population in Asia and Pacific, call on the government to take accountability in promoting, protecting and upholding the sexual and reproductive health and rights of young people. And we call on the civil society, development partners, and our fellow young people to work collectively in addressing SRHR issues of the young people.

We urge the government to provide reliable data and address the gaps on young peoples’ situation particularly on Sexual Reproductive Health leading to policy directionsand budget allocation.

We urge the government to provide venue for genuine participation of the young people in the policy making, program implementation, monitoring and evaluation.

We strongly urge the government to implement comprehensive sexuality education in the curriculum and in non-formal and alternative means of education.

We urge the government to provide comprehensive youth friendly health care services that are cost effective, gender sensitive and rights based.

We urge the government to ensure that service providers are adequately trained in providing youth- friendly services.

We urge the government to abolish policies which are discriminating to gender expression, gender identity and sexual orientation.

We the delegates of the Youth Day in 6th Asia Pacific Conference on Sexual and Reproductive Health and Rights commit to:

We commit to complement the efforts of the government, civil society and development partners in promoting comprehensive sexuality education and youth-friendly services through our peer education programs targeted to our fellow young especially the key populations

We commit to strengthen programs provided by our organizations especially in the provision of ASRH information and services through our teen centres, youth hubs, one- stop shops and other existing institutional facilities and in the absence thereof, through outreach programs.

We commit to continuously lobby and advocate for policies addressing the sexual and reproductive health needs of the youth by building their capacities in policy advocacy; and respect, protect and uphold the sexual and reproductive health rights of young people.

We commit to actively engage ourselves in the development, implementation, monitoring and evaluation of youth programs in all levels (local, national, regional and global); to promote the spirit of volunteerism and vigilance; and to consistently advocate for meaningful youth-adult partnership.

Signed in the 19th day of October 2011 at Jogjakarta, Indonesia.

Dance 4 Life

Start Dancing, Stop AIDS !



Jumlah penderita HIV/AIDS di dunia terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah penderita AIDS 50%nya didominasi usia produktif antara 20-29 tahun. Sementara data dari Kementrian Kesehatan hingga bulan Juni 2010 menyebutkan angka kumulatif HIV/AIDS dari 33 provinsi di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS.

Beberapa cara dan kegiatan selalu dilakukan untuk meminimalisir angka tersebut & memberikan pemahaman terhadap informasi HIV/AIDS secara lengkap&jelas. Kalau dulu metode yang dipakai adalah FGD, Seminar, Pelatihan, dsb yang menyebabkan remaja bosan dan kurang tertarik. Sekarang di Indonesia, PKBI dan yayasan lain (WPF, YAI, YPI) mencoba mengemas kegiatan tersebut dengan kegiatan unik yg disebut dgn “DANCE 4LIFE” (menginformasikan HIV dgn seni musik & tari)

Apa itu dance 4life?
dance4life adalah kampanye global yang mengajak remaja di seluruh dunia untuk menggunakan suara dan tubuh mereka dan menjadi bagian dari solusi penanggulangan HIV dan AIDS. Dance 4life mendorong remaja di dunia untuk menyuarakan penghentian penyebaran HIV dan AIDS dan penghapusan stigma serta diskriminasi terhadap ODHA.
Pendekatannya meliputi seluruh aspek kebudayaan populer anak muda : media, bahasa, lambang-lambang,musik, dan utamanya adalah tarian. Tarian adalah  bahasa universal melalui dance 4life, diharapkan remaja akan mendapatkan pengetahuan&ketrampilan hidup yang mereka butuhkan untuk melindung diri mereka sendiri dan juga menjadi termotivasi untuk memberikan informasi kepada teman  sebaya mereka untuk mengambil tindakan dalam menghentikan HIV dan AIDS.

Dari 7,100 orang yang terinfeksi HIV setiap harinya, hampir setengahnya berusia di bawah 25 tahun. Sebagai kelompok terbesar yang terinfeksi dan terkena dampak oleh virus tersebut, bagian besar dari solusi yang potensial juga ada pada mereka. Anak muda adalah masa depan kita dan dance4life, melalui program-programnya, melibatkan mereka, menguatkan suara mereka dan memberdayakan mereka untuk bertindak secara pribadi untuk menghentikan penyebaran HIV dan AIDS.

Siapakah peserta dari dance 4life?
Peserta dance 4life adalah pelajar SMP dan SMA. Di Yogyakarta sendiri, sudah ada 6 sekolahan yang memasukkan kegiatan dance4life dalam MOPD/MOS, diantaranya : SMK 4, SMA N 10, SMK 2, SMK 3, SMA Piri1, dan SMP PL 1. Celebrate akan diadakan 1minggu sebelum HAS (Hari Aids SeDunia), dan tiap2-tiap sekolah akan mendelegasikan kurang lebih 100 remaja dalam mengikuti kegiatan tersebut.


HCT Dance 4 Life @ SMA N 10 Yogyakarta 



Dance 4life aktif di 19 negara dan menjangkau 257.000 anak muda. Pada acara dance 4life tanggal 29 November 2008 diikuti 50.000 anak muda menari bersama si seluruh dunia. Tahun 2009 sudah dilaksanakan di Jakarta, dan Tahun 2011 ini Yogyakarta, Lampung, Jambi, Timika Papua akan mencoba menyelenggarakan dance 4life.
Harapannya di tahun 2014, dance4life mentargetkan untuk menjalankan proyek dan kampanye school4life setidak-tidaknya 34 negara dan memiliki satu juta agen perubahan yang menari secara serentak di seluruh dunia.

Ada Tahapan apa saja dalam Dance 4life itu??
  1. INSPIRE (menginspirasi)  adalah memberikan inspirasi kepada remaja untuk terlibat
  2. EDUCATE (mendidik) setelah terinspirasi, remaja bergabung didalam lokakarya pengembangan ketrampilan yg akan meningkatkan pengetahuan& rasa percaya diri
  3. ACTIVATE (mengaktifkan) remaja memulai tindakan2 yg berkontribusi terhadap penghentian HIV AIDS & merubah cara pandang teman&keluarga terhadap HIV AIDS
  4. CELEBRATE (merayakan)  acara tarian global yg sangat kuat untuk merayakan komitmen&capaian2 yg dihasilkan oleh agen perubahan. Disatukan oleh satu alasan dan dihubungkan melalui satelit , remaja akan menari bersama untuk kehidupan dihadapan masing2 dan dihadapan didunia.

agents4change
Pengertian resmi dari agen perubahan dance4life adalah- seorang anak muda (kelompok sasaran utama 13-19 tahun) yang secara aktif terlibat di dalam proyek dance4life. Agen-agen perubahan memberikan kontribusi positif secara aktif di tingkat individu dan di tingkatan lain seperti:
§      Keluarga/sekolah/komunitas
§      Internasional dan lokal
Seorang agen perubahan telah mengambil peranan dalam Heart Connection Tour, begitu juga di dalam skills4life dan act4life. Hanya agen-agen perubahan yang akan diundang untuk menghadiri acara dance4life.

Selasa, 09 Agustus 2011

Sekali Lagi Menyapa Merapi


Akan ada waktunya nanti, kita berada di atas sana. Melihat betapa dahsyat kekuatan erupsinya. Bukan sekarang. Semua bisa saja terjadi di atas sana.  Gumam tak jelas yang mengiringi langkah kami ketika mengikuti lava tour Merapi pasca erupsi 2010. Berpayung langit mendung dan kabut yang perlahan merenggut pemandangan puncak Merapi yang terasa begitu lain. Memang lain karena erupsi dahsyat telah meruntuhkan dinding-dinding kawah dan menghapus kubah bentukan erupsi sebelumnya.

Merapi dari Puncak Merbabu


Jadi ingat, 2 bulan sebelum erupsi terjadi, saya dan teman-teman mendaki ke sana. Saat itu beberapa adik angkatan SMA minta ditemani muncak. Ada beberapa orang yang sudah bolak-balik naik namun belum pernah muncak. Jadilah kami kemudian ikut acara ‘mengejar puncak’ tersebut. Sebenarnya dari awal pendakianku dengan beberapa teman memang tidak terlalu menjadikan puncak sebagai titik suksesnya pendakian. “Puncak itu bonus”, kata Angga. Yang perlu sangat diingat, dipelajari dan kemudian menjadi bahan evaluasi adalah perjalanan menuju ke sana. Bahwasanya naik gunung bukanlah menaklukkannya, namun menaklukkan ego masing-masing.
17 September lebih tepatnya, kami melakukan pendakian ke Merapi. Kami terbiasa menggunakan motor untuk sampai ke basecamp. Kebetulan jarak Jogja-Boyolali tidak terlampau jauh. Pun menjadi lebih praktis ketika menggunakan motor karena kami terkadang memanfaatkan hari libur yang singkat  saat weekend untuk mendaki gunung tersebut. Pendakian via Selo juga merupakan jalur yang paling singkat dan sering dimanfaatkan para pendaki kebanyakan.
Merapi (2965mdpl), siapa yang tidak mengenal gunung ini. Salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia bahkan di dunia. Hal yang menjadikannya populer dan sangat prestisius di kalangan para pendaki. Banyak pendaki mancanegara yang sering datang. Bahkan di mata wisatawan adalah menjadi kelengkapan mereka ketika berkunjung ke Indonesia, begitu kata rombongan wisatawan Eropa yang berbarengan saya saat boarding di Ngurah Rai beberapa waktu lalu. Ah, bangga sekali mendengar cerita mereka mengenai Indonesia, secuil surga yang jatuh di dunia.
Well, pukul 16.00 WIB kami sudah berada di basecamp Selo. Sambil menunggu beberapa teman yang masih di jalan, kami menyempatkan makan dan aklimatisasi. Pukul 17.30 WIB kami berangkat naik, seperti biasa menyempatkan diri untuk breafing dan cek perlengkapan. Safety first, Bung! Setelah berjalan 1,5 jam sampailah kami di Pos 1. Track lumayan naik dengan beberapa bonus di awal perjalanan saat kami melewati ladang. Pos 1 ke Pos 2 kira-kira 1 jam. Di Pos 2 kami agak lama berhenti, menyempatkan untuk membuat kopi panas sebelum meneruskan perjalanan. Perlu di catat bahwa di sepanjang perjalanan sampai puncak Merapi via Selo, tidak ada mata air. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membawa air dari basecamp. Biasanya kami mewajibkan min. 3 liter air untuk masing-masing personel.


Pos 2 sampai Pos 3 biasa ditempuh selama 45 menit perjalanan. Pos 3 – Pasar Bubrah kira-kira 30 menit. 15 menit menjelang Pasar Bubrah kabut sudah mulai turun, angin berubah kecepatannya. Badai. Kami tetap meneruskan perjalanan dengan pertimbangan tempat untuk mendirikan camp sudah dekat. Pukul 22.30 WIB kami sampai di Pasar Bubrah. Bergegas semua personel mendirikan dome. Karena kebetulan kami membawa dome besar (lokon) bergotong-royonglah tim mendirikannya di tengah badai. Lokon berdiri dan kami beristirahat. Esok pagi kami berencana summit attack ke puncak.

Menjelang Pasar Bubrah

Pasar bubrah tempat kami bermalam adalah sebuah tempat datar terbuka seperti lapangan yang berisi batu dan pasir. Vegetasi yang tersisa hanyalah cantigi. Di Pasar Bubrah inilah para pendaki biasanya mendirikan dome sebelum melakukan summit attack ke puncak yang hanya menghabiskan waktu sekitar 45 menit – 1 jam. Pagi sekali kami bangun. Badai nampaknya belum usai. Hingga pukul 10.00 WIB Kabut statis masih menutupi kubah. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Tim memutuskan untuk menunggu, kalau jam 12.00 WIB keadaan belum berubah kami akan turun. Penantian kami diiringi beberapa kali sapaan matahari yang datang ketika kabut menghilang, namun tak berapa lama kabut datang lagi seperti tirai pertunjukan saat usai. Dibeberapakali itulah kami sempat bersorak-sorai senang dengan harapan bisa summit attack. Keadaan sama sekali tak berubah, kawan-kawan tak sabar menunggu. Mereka memutuskan untuk segera summit attack dengan pertimbangan kabut berkali-kali hilang.
Di tengah Kabut Pasar Bubrah




Puncak Merapi sebelum Erupsi 2010

Saya sendiri sudah kehilangan mood untuk ke puncak akhirnya saya menunggu di pasar bubrah sementara teman-teman melakukan summit attack. Lagipula saya sudah pernah sampai puncak, kata saya ke Angga. Besok lagi sajalah, sudah pewe! Tambah saya. Akhirnya rombongan berangkat ke puncak. 2 jam kemudian mereka sampai kembali di pasar bubrah. Tim bersiap packing untuk turun. Sebelum gelap menyingsing,kami telah sampai di basecamp Merapi.


Memandang senja dari ketinggian yang tak biasa hanya sebuah kemenangan kecil dari sebuah kemenangan besar atas ego.


 Photo's by Ditya Fajar Rizkizha

Jumat, 15 Juli 2011

Translating Multiculturalism in Multi Youth Movement Identity

 (abstract for Asian Pasific Conference on Reproductive and Sexual Health and Right 6th)

Youth are all people aged 18 to 24 years. Youth are "mature", able to determine his life and have autonomy over the body to determine his life. All these identities attached to them (youth street, school youth , youth gay , youth transgender , etc.) is an existence that they should be recognized. Reality on the ground show a different thing, a lot of stigma and discrimination among adolescents in several living rooms. Youth are often considered to be volatile so as not to be involved in decisions concerning the interests of youth itself. There's also a street youth, school youth, youth sex workers, etc. who have not gotten their rights such as reproductive health education, service and health protection, and free from abuse and maltreatment, and so on.

Departing from the ICPD (International Conference on Population and Development) in Cairo in 1994 on Reproductive Health and Sexual Rights, which guarantees the rights of sexual and reproductive health of adolescents. A youth movement then constructed by reason of diversity, addition and then believe it is true that teenagers themselves who would be actors of change by the identity of each of the diverse, but could come together and reinforce each other.

A conference designed specifically with the concept of "touching each other" that involve youth from the various identities that school adolescents, street youth, youth sex workers, young lesbian, gay youth, transgender youth, young Queer and youth village. The conference, held on 16 to 17 July 2010 was able to reinforce the concept of adolescence as identity and jointly prepare a movement to fight for sexual rights and reproductive rights.

Formed YOTHA (Youth Association), an organization which becomes a tool of transportation is the movement of youth in the processes of advocacy of sexual rights and reproductive rights. YOTHA doing advocacy work for the realization of a society and a just system of government, guarantee human rights, regardless of social status, health status, choice of profession, sexual orientation and gender identity.

Vision on later scaled back the mission, namely: education and public awareness about the rights of adolescents, to ensure recognition, protection and fulfillment of the rights of adolescents, as well as fight for access to youth friendly services. To support the vision and mission YOTHA, formed three channels of movement, namely: the media, campaigns, research and lobbying.


YOTHA with GKR Hemas (the queen)


    .: All different all equal :.

Rabu, 15 Juni 2011

Multikulturalisme (bukan) Solusi

Refleksi kelas “Pengantar Multikulturalisme di Indonesia” Sekolah Teori Multikulturalisme IMPULSE

Dengan kembali mengingat mengenai “iman” multikulturalisme bahwa tidak ada satu budaya pun yang berhak menilai budaya lain tanpa memakai kacamata budaya lain itu sendiri, saya ingin sedikit berefleksi mengenai apa yang saya dapat sore ini yang menyoal bagaimana sebuah identitas terbentuk karena adanya identitas yang lain. Saya menjadi saya yang ada karena ada anda, dia atau juga mereka. Sebuah hal ada karena deskripsi dari hal yang ada disekelilingnya. Identitas-identitas yang ada itu kemudian membentuk sebuah eksistensi dengan proses produksi,redistribusi, rule, representasi dan kemudian power. Kita sebut saja sebuah kelompok, pertama ketika mereka ada yang ada dalam pikiran mereka adalah memenuhi kebutuhan (produksi), setelahnya ada pembagian dari kebutuhan yang telah terpenuhi(redistribusi), terciptalah peraturan (rule) selanjutnya adalah memilih salah seorang anggota kelompok sebagai representasi dan dari representasi tersebut ada power yang diperebutkan karena power itulah yang menjadi salah satu simbol dari eksistensi.
Begitu juga dengan kelompok-kelompok, masing-masing dari mereka mempromosikan sistem ide (kultur) dengan tujuan eksistensi. setiap kelompok menginginkan kultur mereka eksis di masyarakat sehingga terkadang mereka tidak bisa membedakan ruang publik dan ruang privat. Ruang publik yang harusnya menjadi tempat ekspresi menjadi ajang showing kultur dari kelompok. Untuk itu muncullah kemudian tolerance, share of power among group to share the rights and obligation. Pembagian power antar kelompok yang tujuannya membagi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Terkadang dalam implementasinya terjadi konflik antar kultur. Bisa terjadi karena model verifikasi (menilai budaya lain dengan budayanya sendiri) bisa juga karena perebutan power. Kemudian apakah multikulturalisme merupakan jawaban dari persoalan dia atas?

Multikulturalisme adalah konsepsi untuk memfasilitasi banyaknya eksistensi. Namun bukan alat penyelesaian. Penyelesaian konflik adalah dengan bertemu, berdiskusi untuk membuat aturan hingga aturan yang terlahir adalah produk kebijakan yang partisipatoris. Sedang selama ini, yang kita lihat adalah kebijakan yang keluar dari elit itulah yang kemudian tidak multikulturalis karena tidak menyentuh konseptual dari masing-masing pihak yang diatur dalam produk kebijakan.   

Jumat, 10 Juni 2011

Multikulturalisme : Sebuah Kata Hati

Sebuah refleksi kelas “Epistimologi Multikulturalisme “ Sekolah Teori Multikulturalisme IMPULSE



Meminjam judul dari buku Gadis Arivia saya akan mencoba merefeleksikan apa yang saya dapat dari kelas pertama saya dengan Romo Hari Susanto di sore yang cerah kemaren. Mari sedikit membicakan teori. Multikulturalisme berasal dari dua kata multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain. Dengan banyaknya wajah budaya, diharapkan bahwa kemudian tidak ada satu budaya pun yang bisa menjadi tolok ukur dari budaya lain.
Saya kemudian teringat perkataan Romo Hari dalam kelas kemaren, tidak ada satu kacamata pun yang bisa dipakai ketika melihat budaya yang ada. Yang ada hanyalah bagaimana kemudian kita bisa melihat budaya dari kacamata budaya itu sendiri. Karena dengan melebur dan memakai kacamata budaya yang akan kita lihat maka kita akan melihat di mana intens atau penekanan dalam sebuah budaya. Seperti dicontohkan adanya kebiasaan pengorbanan anak bungsu dalam suatu suku di Australia jika anak sulung sakit. Mereka mempunyai adat bahwa anak sulunglah yang menjadi pewaris sehingga jika si sulung sakit maka itu berarti mereka akan kehilangan pewaris. Dalam kacamata budaya dan moral sebagai ukuran universal, perbuatan tersebut adalah perbuatan yang salah. Namun ternyata bagi mereka  intensnya persoalan menyelamatkan anak sulung bukan membunuh anak bungsu. Mungkin kemudian yang harus menjadi bahan pemikiran kritis adalah dengan membeberkan fakta-fakta keilmuan bahwa dengan mengorbankan anak bungsu tidak akan ada yang terselamatkan pun si sulung yang sedang sakit. Atau kemudian memberikan pilihan pewaris selain anak sulung, bahwa semua anak mempunyai hak sama.
Di dalam fenomena kehidupan berbangsa kita mungkin kita bisa sedikit menengok mengenai beberapa tindak kekerasan yang dilakukan ormas yang mengatasnamakan agama tertentu. Penyerangan terhadap para aktivis antar umat beragama saat mereka menyampaikan pendapatnya di Monas atau penyerangan saat acara ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, dan transgender dan Intersex) di Surabaya. Yang jadi pertanyaan mengapa polisi seakan diam saja melihat kejadian tersebut. Seolah ada pembiayaran yang sengaja dilakukan sehingga kejadian tersebut memakan korban.


 Tentunya tidak menjadi benar ketika sebuah perbedaan pendapat tersebut dijadikan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan. Tidak juga menjadi hal yang akan tepat ketika kita juga memaksa pemerintah untuk membubarkan ormas tersebut. Yang sedang saya bayangkan adalah bagaimana pemerintah bisa melindungi hak setiap warganya untuk berekspresi.
Dan kemudian, mari berefleksi dan kembali bertanya kedalam diri kita masing-masing. Terhadap kepentingan yang kita bawa, terhadap harapan yang ingin kita semai. Sudahkah cukupkah kita mempunyai sikap yang multikultur?

Selasa, 31 Mei 2011

Konflik Multikulturalisme adalah Masalah Relasi Kuasa Pengetahuan

(Sebuah review diskusi publik “Konflik Budaya” Impulse)
Mengambil pelajaran mengenai kasus sengketa Delta Sungai Mahakam, sebuah permasalahan yang sebenarnya hanya berbeda setting tempatnya dengan banyak masalah di negeri  ini, konflik lahan. Agaknya menjadi sebuah hal yang pelik ketika permasalahan tersebut menjalar kepada konflik horizontal di masyarakat. Bagaimana hal  tersebut bisa terjadi di tengah tatanan masyarakat yang sebelumnya begitu harmonis? Benarkah hal tersebut hanya perkara lahan semata?
Sebagaimana seluruh tempat di muka bumi ini, kelompok manusia memilih daerah yang subur dan cukup dengan air sebagai awal terbentuknya masyarakat. Daerah aliran sungai Nil, sungai Eufrat, Tigris dan beberapa lagi berdekatan dengan sumber-sumber air yang tak habis. Begitu juga di Indonesia, tempat dengan karakteristik yang sama menjadi daerah yang diperebutkan untuk diduduki pusat kerajaan dan pemerintahan. Demikian dengan delta Mahakam, tempat strategis untuk menjalani kehidupan. Awalnya tempat tersebut secara alamiah didiami oleh beberapa orang yang bertahan hidup dengan mengambil manfaat dari alam. Hingga datangnya kolonialisme di Indonesia, kumpulan kelompok manusia yang kemudian menjadi komunitas tersebut didorong untuk mencatatkan tanah yang mereka miliki. Saat masa-masa kemerdekaan, pemerintah kemudian ambil alih peranan, dengan undang-undang yang dimilikinya tanah di bagi dua menjadi kawasan yaitu kehutanan dan non kehutanan. Konflik horizontal tercipta berkaitan dengan penguasaan lahan garapan. Sampai di sini masalah kemudian seperti bola salju yang menggelinding dibawa membesar dan sulit mencari akar intinya.
Sejatinya apa yang terjadi dalam konflik multikultarisme adalah persoalan relasi kuasa pengetahuan. Seperti halnya kelompok agama tertentu yang mengecam kelompok agama yang lain terkait dengan apa yang mereka lakukan. Berbekal pengetahuan yang lebih dari masyarakat grassroot mereka menjadi kelompok yang menentukan segala sesuatu. Dengan sangat mudah akan menunjuk siapa yang salah dan yang benar, hitam putih. Bahkan tidak memberi seruangpun untuk menjadi abu-abu, mencoba pada sebuah relativitas. Kita agaknya tidak terbiasa membuka ruang diskusi dalam rangka kristalisasi wacana tentang apa yang terjadi. Kita lebih suka dengan kemudian memasukkan kelompok yang berbeda ide dalam golongan-golongan yang kita (sendiri) ciptakan.  Secara struktural konflik tersebut akan bergeser menjadi sebuah perusakan terhadam sistem sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tak ada lagi penghargaan atas perbedaan, penyelesaian dengan kekeluargaan bahkan malah berusaha saling serang. Hal tersebut hanya karena pembiaran-pembiaran yang disadari atau tidak kita lakukan sendiri.
     Kembali pada permasalahan mengapa konflik atas tanah di beberapa daerah kemudian memanas dan belum menemukan titik terang. Dalam faham kelompok masyarakat, tanah adalah manifestasi sebuah kedaulatan  dan bagian dari cara bertahan hidup. Sedang dalam faham yang lain (pemerintah) ada perkara administratif bahkan terkadang sangat yudikatif dalam persoalan ini. Seharusnya kemudian, ada sebuah diskusi yang dibangun dalam rangka menyelesaikan segala persoalan yang terjadi  karena ada transfer pengetahuan yang belum selesai diantara keduanya. Relasi kuasa pengetahuan inilah mengesankan keduanya sebagai pihak yang vis a vis dan masalah tak kunjung menemukan win-win solution.

Jumat, 20 Mei 2011

Lawu, Pada Sebuah Awal

Mengais Ingatan 4 Tahun Lalu...

Aku bukanlah seseorang yang berani menantang bahaya pun mengambil resiko. Terkadang, dalam hematku kata “mencegah” nampaknya menjadi hal yang harus dilakukan. Kalo sudah tahu hujan ya gak usah keluar, kalo sudah tau macet ya gak usah lewat jalan itu. Suatu ketika beberapa teman SMA mengajakku pergi bermain-main.

“Enggak deh, kayaknya gak berani deh”, kataku
“Ayolah, coba dulu sebelum bicara”, jawab mereka
“Takut nyusahin juga, belum pernah naek gunung”
“Makanya dicoba!”

Mungkin karena setan yang menggangguku adalah keturunan setan yang bisa membuat Adam keluar dari syurga, makanya tanpa babibu aku memutuskan ikut kemudian. Pendakian pertama, Lawu.

Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api “istirahat”. Rencana perjalanan sudah di siapkan, aku tak henti-henti bertanya soal perlengkapan. Parno banget sama yang namanya bahaya.
Dari Jogja kami naik prameks paling pagi dan turun di Palur. Dari Palur akan ada angkutan yang membawa kami naik sampai ke terminal Tawangmangu. Darisana biasa banyak colt atau angkutan sayur yang akan mengantar para pendaki sampai ke Basecamp pendakian. Ada dua jalur pendakian yang umumnya digunakan yaitu : Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Magetan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.
Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5. Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata. Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke4 baru direnovasi,jadi untuk saat ini di pos4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.
Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos2 terdapat watu gedhe yang kami namai watu iris(karena seperti di iris).
Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui Cemorosewu(bagi pemula) janganlah mendaki di siang hari karena medannya berat untuk pemula. 
Karena alasan di atas kami memilih jalur Cemorokandang. Sesampainya di basecamp pukul 10.30 WIB kaki lalu menyempatkan diri untuk makan siang terlebih dahulu. Sekalian aklimatisasi agar tidak terlalu kaget dengan menipisnya oksigen setiap berubah ketinggian. Pukul 13.00 WIB kami berangkat mendaki.
Setelah 1,5 jam berjalan, sampailah kami di Pos 1, Taman Sari Bawah. Berhenti sebentar untuk istirahat. Benar saja, luar biasa menantang bagiku karena pengalaman pertama. Meski jalan tak terlalu menanjak namun nafas ini nampaknya sedang tidak berkompromi. Perjalanan di lanjut ke Pos 2, Taman Sari Atas yang berjarak sekitar satu jam dari Pos 1.

Di pos 2 kami menyempatkan diri untuk makan (lagi-lagi makan). Lumayan menguras tenaga juga batinku. Peluh ini tak berhenti menetes. Semakin sering berhenti maka akan semakin sering capek, begitu kata teman-teman. Makanya aku memaksa diriku untuk sedikit berusaha daripada biasanya.

Makan dulu, Pos Taman Sari



Pos Taman Sari Atas

Pos ketiga, Penggik. Dapat di capai dengan berjalan 2 jam dari Taman Sari Atas. Kami sampai penggik ketika adzan berkumandang. Terimakasih Tuhan, akhirnya makan lagi (makan terus,hehehe). Susah payah sampai di Penggik. Pake acara bohong-bohongan segala.
“Itu loh, atas sedikit. Sedikiiiiit lagi pasti dah nyampe. Ayo jalan lagi”, rayu mereka.
Di Penggik kami akan beristirahat cukup lama untuk mempersiapkan diri ke puncak. Well, ngeri sekali rasanya. Tiba-tiba saja kangen kasur di rumah. Pasti enak banget tuh. Dingin menyergap.


Pukul 02.00 WIB kami terbangun dengan suara riuh rendah. Penggik kedatangan banyak tamu. Karena pondok sempit sudah sesak dengan pendaki lain yang juga beristirahat, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Setelah melewati Ondo Rante, sampailah kami di Pos 4, Cokro Suryo. Di sambut bulan yang begitu sempurna dan angin yang lumayan kencang. Berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga untuk meneruskan perjalanan.
Pos 5 sudah di depan mata. Lelah dan dingin membuatku tak berdaya.
“aduh, sampai sini aja ya” kataku
“ya ampun, 15 menit kalik nyampe puncak”
Ingin rasanya ambruk, tapi teman-teman meyakinkan. Akhirnya, dengan berpeluh-peluh dan langkah yang sempoyongan, di depan saya membentang langit penuh bintang tanda Hargo Dumilah sudah dekat.
“Silahkan menapakkan kaki di puncak”
Saya mendapat kehormatan sebagai orang pertama di tim yang menapakkan kaki di puncak. Rasanya bangga dan tak percaya. Saya telah sampai di puncak lawu, Hargo Dumilah (3265 mdpl). Semua teman menyelamati.

Tuhan, inikah yang kau beri nama keindahan... Seakan tak percaya di buatnya. Awan berada dibawah kami. Harga yang di bayar benar-benar sepadan dengan apa yang kami dapat.





Sunrise puncak


Hargo Dumilah


Penduduk Asli, hehehe

Pulangnya kami lewat jalur Cemoro Sewu. Jalannya sudah bagus dengan batu yang di tata di sepanjang jalurnya. Yah lumayanlah, pijat refleksi (tapi setahun lamanya)hehehe...

Pintu Gerbang Cemoro sewu



Berfoto dengan para AGL (Tim Sar Lawu)