Refleksi kelas “Pengantar Multikulturalisme di Indonesia” Sekolah Teori Multikulturalisme IMPULSE
Dengan kembali mengingat mengenai “iman” multikulturalisme bahwa tidak ada satu budaya pun yang berhak menilai budaya lain tanpa memakai kacamata budaya lain itu sendiri, saya ingin sedikit berefleksi mengenai apa yang saya dapat sore ini yang menyoal bagaimana sebuah identitas terbentuk karena adanya identitas yang lain. Saya menjadi saya yang ada karena ada anda, dia atau juga mereka. Sebuah hal ada karena deskripsi dari hal yang ada disekelilingnya. Identitas-identitas yang ada itu kemudian membentuk sebuah eksistensi dengan proses produksi,redistribusi, rule, representasi dan kemudian power. Kita sebut saja sebuah kelompok, pertama ketika mereka ada yang ada dalam pikiran mereka adalah memenuhi kebutuhan (produksi), setelahnya ada pembagian dari kebutuhan yang telah terpenuhi(redistribusi), terciptalah peraturan (rule) selanjutnya adalah memilih salah seorang anggota kelompok sebagai representasi dan dari representasi tersebut ada power yang diperebutkan karena power itulah yang menjadi salah satu simbol dari eksistensi.
Begitu juga dengan kelompok-kelompok, masing-masing dari mereka mempromosikan sistem ide (kultur) dengan tujuan eksistensi. setiap kelompok menginginkan kultur mereka eksis di masyarakat sehingga terkadang mereka tidak bisa membedakan ruang publik dan ruang privat. Ruang publik yang harusnya menjadi tempat ekspresi menjadi ajang showing kultur dari kelompok. Untuk itu muncullah kemudian tolerance, share of power among group to share the rights and obligation. Pembagian power antar kelompok yang tujuannya membagi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Terkadang dalam implementasinya terjadi konflik antar kultur. Bisa terjadi karena model verifikasi (menilai budaya lain dengan budayanya sendiri) bisa juga karena perebutan power. Kemudian apakah multikulturalisme merupakan jawaban dari persoalan dia atas?
Multikulturalisme adalah konsepsi untuk memfasilitasi banyaknya eksistensi. Namun bukan alat penyelesaian. Penyelesaian konflik adalah dengan bertemu, berdiskusi untuk membuat aturan hingga aturan yang terlahir adalah produk kebijakan yang partisipatoris. Sedang selama ini, yang kita lihat adalah kebijakan yang keluar dari elit itulah yang kemudian tidak multikulturalis karena tidak menyentuh konseptual dari masing-masing pihak yang diatur dalam produk kebijakan.