Selasa, 31 Mei 2011

Konflik Multikulturalisme adalah Masalah Relasi Kuasa Pengetahuan

(Sebuah review diskusi publik “Konflik Budaya” Impulse)
Mengambil pelajaran mengenai kasus sengketa Delta Sungai Mahakam, sebuah permasalahan yang sebenarnya hanya berbeda setting tempatnya dengan banyak masalah di negeri  ini, konflik lahan. Agaknya menjadi sebuah hal yang pelik ketika permasalahan tersebut menjalar kepada konflik horizontal di masyarakat. Bagaimana hal  tersebut bisa terjadi di tengah tatanan masyarakat yang sebelumnya begitu harmonis? Benarkah hal tersebut hanya perkara lahan semata?
Sebagaimana seluruh tempat di muka bumi ini, kelompok manusia memilih daerah yang subur dan cukup dengan air sebagai awal terbentuknya masyarakat. Daerah aliran sungai Nil, sungai Eufrat, Tigris dan beberapa lagi berdekatan dengan sumber-sumber air yang tak habis. Begitu juga di Indonesia, tempat dengan karakteristik yang sama menjadi daerah yang diperebutkan untuk diduduki pusat kerajaan dan pemerintahan. Demikian dengan delta Mahakam, tempat strategis untuk menjalani kehidupan. Awalnya tempat tersebut secara alamiah didiami oleh beberapa orang yang bertahan hidup dengan mengambil manfaat dari alam. Hingga datangnya kolonialisme di Indonesia, kumpulan kelompok manusia yang kemudian menjadi komunitas tersebut didorong untuk mencatatkan tanah yang mereka miliki. Saat masa-masa kemerdekaan, pemerintah kemudian ambil alih peranan, dengan undang-undang yang dimilikinya tanah di bagi dua menjadi kawasan yaitu kehutanan dan non kehutanan. Konflik horizontal tercipta berkaitan dengan penguasaan lahan garapan. Sampai di sini masalah kemudian seperti bola salju yang menggelinding dibawa membesar dan sulit mencari akar intinya.
Sejatinya apa yang terjadi dalam konflik multikultarisme adalah persoalan relasi kuasa pengetahuan. Seperti halnya kelompok agama tertentu yang mengecam kelompok agama yang lain terkait dengan apa yang mereka lakukan. Berbekal pengetahuan yang lebih dari masyarakat grassroot mereka menjadi kelompok yang menentukan segala sesuatu. Dengan sangat mudah akan menunjuk siapa yang salah dan yang benar, hitam putih. Bahkan tidak memberi seruangpun untuk menjadi abu-abu, mencoba pada sebuah relativitas. Kita agaknya tidak terbiasa membuka ruang diskusi dalam rangka kristalisasi wacana tentang apa yang terjadi. Kita lebih suka dengan kemudian memasukkan kelompok yang berbeda ide dalam golongan-golongan yang kita (sendiri) ciptakan.  Secara struktural konflik tersebut akan bergeser menjadi sebuah perusakan terhadam sistem sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tak ada lagi penghargaan atas perbedaan, penyelesaian dengan kekeluargaan bahkan malah berusaha saling serang. Hal tersebut hanya karena pembiaran-pembiaran yang disadari atau tidak kita lakukan sendiri.
     Kembali pada permasalahan mengapa konflik atas tanah di beberapa daerah kemudian memanas dan belum menemukan titik terang. Dalam faham kelompok masyarakat, tanah adalah manifestasi sebuah kedaulatan  dan bagian dari cara bertahan hidup. Sedang dalam faham yang lain (pemerintah) ada perkara administratif bahkan terkadang sangat yudikatif dalam persoalan ini. Seharusnya kemudian, ada sebuah diskusi yang dibangun dalam rangka menyelesaikan segala persoalan yang terjadi  karena ada transfer pengetahuan yang belum selesai diantara keduanya. Relasi kuasa pengetahuan inilah mengesankan keduanya sebagai pihak yang vis a vis dan masalah tak kunjung menemukan win-win solution.

Jumat, 20 Mei 2011

Lawu, Pada Sebuah Awal

Mengais Ingatan 4 Tahun Lalu...

Aku bukanlah seseorang yang berani menantang bahaya pun mengambil resiko. Terkadang, dalam hematku kata “mencegah” nampaknya menjadi hal yang harus dilakukan. Kalo sudah tahu hujan ya gak usah keluar, kalo sudah tau macet ya gak usah lewat jalan itu. Suatu ketika beberapa teman SMA mengajakku pergi bermain-main.

“Enggak deh, kayaknya gak berani deh”, kataku
“Ayolah, coba dulu sebelum bicara”, jawab mereka
“Takut nyusahin juga, belum pernah naek gunung”
“Makanya dicoba!”

Mungkin karena setan yang menggangguku adalah keturunan setan yang bisa membuat Adam keluar dari syurga, makanya tanpa babibu aku memutuskan ikut kemudian. Pendakian pertama, Lawu.

Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api “istirahat”. Rencana perjalanan sudah di siapkan, aku tak henti-henti bertanya soal perlengkapan. Parno banget sama yang namanya bahaya.
Dari Jogja kami naik prameks paling pagi dan turun di Palur. Dari Palur akan ada angkutan yang membawa kami naik sampai ke terminal Tawangmangu. Darisana biasa banyak colt atau angkutan sayur yang akan mengantar para pendaki sampai ke Basecamp pendakian. Ada dua jalur pendakian yang umumnya digunakan yaitu : Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Magetan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.
Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5. Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata. Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke4 baru direnovasi,jadi untuk saat ini di pos4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.
Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos2 terdapat watu gedhe yang kami namai watu iris(karena seperti di iris).
Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui Cemorosewu(bagi pemula) janganlah mendaki di siang hari karena medannya berat untuk pemula. 
Karena alasan di atas kami memilih jalur Cemorokandang. Sesampainya di basecamp pukul 10.30 WIB kaki lalu menyempatkan diri untuk makan siang terlebih dahulu. Sekalian aklimatisasi agar tidak terlalu kaget dengan menipisnya oksigen setiap berubah ketinggian. Pukul 13.00 WIB kami berangkat mendaki.
Setelah 1,5 jam berjalan, sampailah kami di Pos 1, Taman Sari Bawah. Berhenti sebentar untuk istirahat. Benar saja, luar biasa menantang bagiku karena pengalaman pertama. Meski jalan tak terlalu menanjak namun nafas ini nampaknya sedang tidak berkompromi. Perjalanan di lanjut ke Pos 2, Taman Sari Atas yang berjarak sekitar satu jam dari Pos 1.

Di pos 2 kami menyempatkan diri untuk makan (lagi-lagi makan). Lumayan menguras tenaga juga batinku. Peluh ini tak berhenti menetes. Semakin sering berhenti maka akan semakin sering capek, begitu kata teman-teman. Makanya aku memaksa diriku untuk sedikit berusaha daripada biasanya.

Makan dulu, Pos Taman Sari



Pos Taman Sari Atas

Pos ketiga, Penggik. Dapat di capai dengan berjalan 2 jam dari Taman Sari Atas. Kami sampai penggik ketika adzan berkumandang. Terimakasih Tuhan, akhirnya makan lagi (makan terus,hehehe). Susah payah sampai di Penggik. Pake acara bohong-bohongan segala.
“Itu loh, atas sedikit. Sedikiiiiit lagi pasti dah nyampe. Ayo jalan lagi”, rayu mereka.
Di Penggik kami akan beristirahat cukup lama untuk mempersiapkan diri ke puncak. Well, ngeri sekali rasanya. Tiba-tiba saja kangen kasur di rumah. Pasti enak banget tuh. Dingin menyergap.


Pukul 02.00 WIB kami terbangun dengan suara riuh rendah. Penggik kedatangan banyak tamu. Karena pondok sempit sudah sesak dengan pendaki lain yang juga beristirahat, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Setelah melewati Ondo Rante, sampailah kami di Pos 4, Cokro Suryo. Di sambut bulan yang begitu sempurna dan angin yang lumayan kencang. Berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga untuk meneruskan perjalanan.
Pos 5 sudah di depan mata. Lelah dan dingin membuatku tak berdaya.
“aduh, sampai sini aja ya” kataku
“ya ampun, 15 menit kalik nyampe puncak”
Ingin rasanya ambruk, tapi teman-teman meyakinkan. Akhirnya, dengan berpeluh-peluh dan langkah yang sempoyongan, di depan saya membentang langit penuh bintang tanda Hargo Dumilah sudah dekat.
“Silahkan menapakkan kaki di puncak”
Saya mendapat kehormatan sebagai orang pertama di tim yang menapakkan kaki di puncak. Rasanya bangga dan tak percaya. Saya telah sampai di puncak lawu, Hargo Dumilah (3265 mdpl). Semua teman menyelamati.

Tuhan, inikah yang kau beri nama keindahan... Seakan tak percaya di buatnya. Awan berada dibawah kami. Harga yang di bayar benar-benar sepadan dengan apa yang kami dapat.





Sunrise puncak


Hargo Dumilah


Penduduk Asli, hehehe

Pulangnya kami lewat jalur Cemoro Sewu. Jalannya sudah bagus dengan batu yang di tata di sepanjang jalurnya. Yah lumayanlah, pijat refleksi (tapi setahun lamanya)hehehe...

Pintu Gerbang Cemoro sewu



Berfoto dengan para AGL (Tim Sar Lawu)


Kamis, 19 Mei 2011

Ketika Mahameru Di Bawah Kakimu...



Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut `Ranu Kumbolo`

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Masihkah terbersit asa
Anak cucuku mencumbui pasirnya
Disana nyalimu teruji
Oleh ganas cengkraman hutan rimba
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sampaikan sejuk embun hati
Mahameru basahi jiwaku yang kering
Mahameru sadarkan angkuhnya manusia
Puncak abadi para dewa 

Aku mendengarkan lagi lagu itu. Untuk kesekian kalinya. Tak pernah menjadi hal yang membosankan. Dalam hati kubilang, tak ada yang berbeda. Persis sama. Kalo yang suka denger radio Swaragama, pasti tahu yang namanya “soundtrack of your life”, nah itu yang kumaksud.  Mungkin “ Dewa 19” waktu itu menciptakan lagu setelah naik ke Semeru dan berada di puncaknya, Mahameru. Karena apa yang dikatakan persis sama dengan apa yang kami alami di sana, di Semeru.
Dari lagu itu pula perjalanan ini terinspirasi. Lagu yang melangkahkan kaki-kaki kami ke Puncak Para Dewa.

***

Sebuah Perjalanan Impian
Hari ini adalah ‘D day’. Kami berangkat ke Kediri dengan kereta Kahuripan. Aku tahu beberapa diantara kami telah memimpikan perjalanan ini selama bertahun lamanya. Tim siap pukul 06.00 WIB di stasiun Lempuyangan dan kami berangkat. Sampai di Kediri kami naik Rapih Doho jurusan Malang. Kemudian disambung dengan angkot menuju Tumpang. Di sana kami sudah disambut salam hangat dari Pak Ruseno, seorang pemilik truk yang biasa mengantar para pendaki menuju desa Ranu Pane, basecamp pendakian Gunung Semeru.

Menunggu Rapih Doho (Kediri- Malang)

***

Orang-Orang Aneh
Pagi cerah. Semalam kami memutuskan untuk tidak langsung ke Ranupane karena terlampau lelah dengan perjalanan panjang Jogja- Malang. Pun Pak Ruseno menawari kami untuk beristirahat di rumahnya. Rumah kecil yang luar biasa ramah, itu yang aku ingat sampai sekarang. Oh ya, terlupa untuk absen. Kesebelasan ini sebenarnya berawal dari teman SMA, teman dolan, teman kantor, dan teman-temin lainnya. Punya kebiasaan aneh, lebih senang bersusah dalam dingin dan menjelajah alam daripada menikmati empuk kasur dan hangatnya selimut di rumah. Dan taraaaaaaaaa... mereka adalah Angga Kencuk, Annas Jampes, Reza Pacul, Febrian Cabul, I Gung Komeng, Masroel Ndoro, Liston, Yuda, Iqbal, Rully, dan Penulis (Fita).
Briefing sejenak sebelum menuju Ranupane. Pukul 07.00 WIB tim berangkat menuju basecamp pendakian Gunung Semeru. Diperjalanan sungguh tak bisa terpejam. Bagaimana bisa jika alam sedang memperlihatkan keindahannya yang luar biasa. Kompleks Bromo tak henti melambai menyambut kedatangan kami. Tak henti kami ber-WOW. Sungguh hanya itu yang bisa kami lakukan ketika itu. Pak Ruseno menawarkan untuk berhenti dan mengambil gambar. Tidak kami sia-siakan kesempatan itu. Sebentar saja di bibir savana Bromo, kemudian kami meneruskan perjalanan.

Secuil keindahan kompleks Bromo Tengger Semeru




Di tengah perjalanan menuju Ranupane


Perjalanan 2 jam dan kami telah sampai di Ranu Pane. Lagi-lagi Cuma WOW liat pemandangan. Sarapan dulu, ngurus perijinan dan kami akan segera berangkat naik. Perijinan lumayan ribet, maklum Taman Nasinal biasanya memang mempunyai disiplin berbeda. Seperti contohnya Taman Nasional Gede-Pangrango yang kami kunjungi setahun lalu, para pendaki harus booking tempat minimal 4 hari sebelum pendakian atau kemudian peraturan lain seperti pembatasan membawa peralatan tajam (pisau), pelarangan membuat api unggun, dll. Sejauh ini sih memang peraturan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelestarian ekosistem. Perijinan selesai, check list kelengkapan sebelum memulai pendakian. Kebetulan berbarengan dengan kami ada beberapa pendaki domestik dan mancanegara yang akan naik, kami memutuskan untuk sedikit mengambil jarak agar tidak terlalu antre di jalur. Ada juga tim “Jejak Petualang” yang sedang syuting di sana. Kami ikut di syuting dong, lumayan lah (Fita masuk tipi mak).

Basecamp Ranupane


Tim Di Depan Basecamp


Setelah jepret-jepret kami berangkat mendaki. Terminal pertama kami adalah Ranu Kumbolo, sebuah danau yang berada di ketinggian 2400 mdpl. Di sanalah kami akan menginap semalam. Jalan dari Ranupane menuju Ranu Kumbolo tidak begitu menanjak. Datar malah. Jarak yang di tempuh adalah sekitar 10 km atau sekitar 4 jam, tapi lumayan juga dengan tas yang masih full. Perjalanan yang menyenangkan.

Istirahat dulu Cing!


Penampakan Kubah Mahameru (Ranupane- Ranu Kumbolo)



Perjalanan yang awalnya diperkirakan selama empat jam ternyata tidak sesuai kenyataan. Ya gimana mau 4 jam, tiap berhenti mana yang rokok dulu, mana yang satu lagu dulu, mana yang merem 5 menit dulu, mana yang makan dulu, mana curhat dulu dan mana-mana lain yang tentu bikin lama. Then finally kami sampai di Ranu Kumbolo pukul 16.30 WIB.

view Ranu Kumbolo from pos 4 

Danau 14 Ha berparas menawan menyambut kami dengan pagar bukit yang bersatu di tengah membentuk letter V. Kata orang, pada sudut itulah berkas-berkas sunrise akan menyergap esok hari.

Senja di Ranu Kumbolo

Bangun dome, masak-masak, makan-makan, ngobrol-ngobrol dan tertidurlah kami dalam balutan sleeping bag yang terasa begitu syurga waktu itu. Ada menu spesial kali ini “ayam bakar madu Ranu Kumbolo ala Chef Fita” (di ucapkan ala Farah Queen).
Tidur dan mimpi indah, kecuali aku. Yang bolak- balik kebangun gara-gara Jampes kentutnya gila. Sumfah itu keras banget sodara-sodara. Humps....

***

Meretas Jalan Menuju Kalimati
Keributan membangunkanku. Sunriseeeeeeeeeee...kamera kamera kamera... Semua terbangun dengan muka seakan-akan tak percaya. Kami setinggi arah datangnya matahari. Sepanjang tepian Ranu Kumbolo dipenuhi dengan dome para pendaki lain. Kayak pasar rupanya semalam, tapi kami terlalu lelah menyadarinya.

Sunrise Ranu Kumbolo


Ranu Kumbolo

Kembali beraktivitas yang di dahului dengan jeprat-jepret sunrise. Masak-masak, makan-makan, packing dome dan kembali briefing untuk meneruskan perjalanan ke Pos peristirahatan selanjutnya yaitu Kalimati. Kalimati adalah pos peristirahatan kami sebelum summit attack ke puncak Semeru.
Pukul 11.00 WIB kami berangkat. Perjalan menuju Kalimati memakan waktu sekitar 4 jam. Awal perjalanan kami langsung dijejali dengan ‘tanjakan cinta’, tanjakan dengan jarak sekitar 50 meter namun mempunyai kemiringan sekitar 45 derajat. Kebayang dong ya..hehehehe
Ada sebuah cerita berkaitan sama tu tanjakan, katanya seorang pendaki yang bisa melewatinya tanpa berhenti dan menengok sampai akhir sambil memikirkan orang yang dicintainya maka cintanya itu akan abadi. Ceileh...
Jelas dong, para lelaki tim kami pada niat banget sama tu nadzar. Kira-kira ada yang mikirin saya gak ya *ngarep. Beberapa langkah masih oke, beberapa langkah lagi oke dengan hosh..hosh... dan akhirnya saya berhenti. Ya ampun gak keukeuh buat nengok sama gak kuat kalo tanpa berhenti. Pesona Ranu Kumbolo yang membentang di belakang mustahil dilewatkan.

Tanjakan Cinta

Tanjakan berakhir saat kami mampu menatap Oro-oro Ombo, sabana yang dihiasi bukit-bukit teletubies (itu sebutan kami). Jalan datar membelah Oro-oro ombo mengantar kami sampai di Cemoro Kandang.  Kami beristirahat sejenak di sana, bertemu dengan beberapa pendaki yang sudah sampai duluan. Meneruskan perjalanan, track lebih menanjak dari sebelumnya akhirnya kami sampai Jambangan, pos sebelum Kalimati. Dari sana sudah terlihat kubah Mahameru. Senang bukan main, kami begitu dekat dengan mimpi.

Setelah Tanjakan Cinta, Oro-Oro Ombo


Oro-oro Ombo

Kira-kira pukul 15.30 WIB kami sampai di Kalimati. Kalimati merupakan sabana luas yang berada di ketinggian 2900mdpl. Sudah ada beberapa pendaki lain yang mendirikan dome di sana.
Dome selesai berdiri, kami mulai menyiapkan makan. Suara angin menderu seperti jet, memberi tahu kami betapa suhu di sana.” Sudah pasti akan lebih dingin dari Ranu Kumbolo kemaren”,  batinku. Yang lebih membuatku nervous adalah kubah pasir yang luar biasa besar. Ada sedikit rasa ragu, mampukah sampai ke atas sana? Duduk diam membuat kami lebih kedingingan. Pukul 16.00 WIB bukan waktu yang tepat untuk berada di luar tenda.  Setelah makan, ada diskusi kecil untuk persiapan summit attack nanti malam.

Jambangan


View from Kalimati


“Malam ini kita istirahat dan bangun pukul 23.00 WIB. Kita akan berangkat muncak”, kata Angga.
Benar saja malam ini tidak ada suara obrolan, rupanya tidur jadi pilihan terbaik untuk menghemat energi perjalanan ke puncak.
***
Perjuangan Terberat
Tepat pukul 23.00 WIB kami bangun dan menyiapkan logistik untuk perjalanan menuju Mahameru. Kami berkumpul untuk pengecekan terakhir. Berdoa dan berangkat. Di depan kami tim Jejak Petualang sudah memulai perjalanan mereka.
Setelah 2 jam berjalan, sampailah kami di Arcopodo (3100 mdpl). Shelter terakhir sebelum puncak. Ada papan peringatan yang membuatku kembali bergidik. Intinya memperingatkan pendaki untuk melakukan persiapan sebaik mungkin baik fisik maupun mental, jika merasa tidak kuat sebaiknya urungkan niat untuk meneruskan perjalanan. Beberapa Memoriam para pendaki yang hilang menghiasi sekitaran Arcopodo. 
Sekitar 15 Menit dari Arcopodo, kami bertemu batas vegetasi, setelahnya yang kami temui hanyalah pasir dan batuan.

Batas Vegetasi

Tiba-tiba kepalaku pening, rasanya mual dan sedikit sesak. Aku berhenti.
“AMS”, kata Angga.
AMS atau Altitude Mountain Sickness biasa terjadi pada pendaki. Hal ini terjadi karena supply oksigen ke otak berkurang karena tipisnya oksigen di ketinggian. Jika parah akan menimbulkan pendarahan di otak dan meninggal. Sebenarnya bisa ditanggulangi dengan sebelumnya melakukan aklimatisasi (adaptasi) di tempat tinggi lebih lama atau segera membawa pendaki turun.
 Teman-teman memintaku untuk berhenti dan mendapat obat asma dari Cabul. Sementara mereka meneruskan perjalanan dan aku akan menyusul kemudian bersama Angga. Setelah beberapa menit, aku merasa baikan dan meneruskan perjalanan.
Terus terang, ini adalah perjalanan tersulit setidaknya sejauh aku melakukan pendakian selama 3 tahun ini. Tanjakan 5-3 membuatku seakan tidak berdaya. Ya, 5 langkah naik 3 langkah merosot. Terjatuh dan terpeleset agaknya sudah tak terhitung banyaknya. Sering aku meyakinkan kembali diriku untuk tetap bertahan.

 “ Mimpimu, di depan sana. Sedikit lagi dan kau akan sampai. Maka bertahanlah. Aku tau kau mampu. Sangat mampu malah”, kata Angga meyakinkanku.
Pada sepertiga perjalanan air kami habis. Di belakang tersisa  aku, Angga, Liston dan Iqbal. Sisanya sudah ada yang berada di puncak, ada pula yang hampir sampai. Matahari menyapa kami. Memberi kabar tentang cerahnya hari.

Ketika fajar menyapa 

“ Duluan saja Cik, Jika kami mampu kami menyusul”, kataku ke Angga.
Ragu
Aku tidak bercanda. Aku tidak mungkin menahannya untuk tetap bersamaku sedang aku tahu bahwa perjalanan ini sudah menjadi keinginannya sejak lama. Dan puncak sudah di depan mata. Bagaimana jadinya jika dia gagal muncak gara-gara aku. Meskipun selama ini selalu meyakinkan ego kami bahwa puncak hanyalah bonus. Hal yang paling berharga adalah caranya menuju kesana, proses.
“Oke, aku akan cari air di atas. Aku tunggu di sana”
Bertiga bersama Iqbal dan Liston. Aku meneruskan perjalanan beberapa menit setelahnya. Sedikit demi sedikit kami mengayunkan langkah. Sampai akhirnya.
“Fit, kamu meh muncak. Aku dah gak kuat. Ini kameranya kamu bawa wae!” Liston mengeluh.
“ Gak, semuanya muncak. Sedikit meneh ton. Pasti bisa. “ kataku
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil dari atas.
“Hei, kalian mau minum?” tim Jejak Petualang sepertinya tahu keadaan kami.
Tanpa babibu, semua langsung bergegas. Tegukan syurga. Hehehehe
Teman-teman kami sudah menunggu di atas. Teriakan mereka membuat keping-keping semangat kami kembali.
Kembali terngiang di benakku sepotong lagu “Mahameru”. “ Mahameru sebuah legenda tersisa, Puncak abadi para dewa”. Ada sesuatu yang seakan turun dari tenggorokan, berdesir. Di Mahameru kami akan mengerti semua.

Tiang Pancang yang di pasang Tim Jejak Petualang


Akhirnya pukul 08.30, kami sudah menjelang Mahameru.
Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua rasa, gembira, haru, bangga, entahlah. Semua bercampur menjadi satu. Semua teman menyambut kami. Tangis kembali berderai. Boleh percaya atau tidak, tidak ada dari teman-teman yang sudah duluan menginjakkan kaki di puncak. Mereka ternyata hanya duduk di bibir puncak, menunggu kami untuk bersama-sama menginjakkan kaki di Mahameru. Terharu jika mengingatnya.
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka yang mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah dan berkata, kesanalah Soe Hoe Gie dan Idhan Lubis Pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negari ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menebar gerimis

Ada haru mendalam membaca tulisan yang di pahat untuk mengenang kepergian Gie, namun itulah yang menambah keyakinan kami bahwa kami telah benar-benar sampai.
Mahameru berada di ketinggian 3676 mdpl. Puncak tertinggi  Pulau Jawa. Dan Kami telah sampai di sana. Dengan mimpi yang kami bangun bersama. Terimakasih yang takkan terhingga untuk semua hal yang telah terbagi bersama. Kesempatan, ilmu, semangat, kopi panas dan pelukan hangat para sahabat. Terimakasih telah percaya bahwa aku mampu melewatinya. Sampai jumpa di perjalanan menuju atap- atap pulau, negeri di atas awan.

Puncak Mahameru, Bersama tim Jejak Petualang


Mahameru 3676mdpl


Bibir Puncak


Negeri atas awan



“Mimpi itu dekat adanya bukan? Satu hal, lakukan!”
  Lagu nampaknya menjadi bukan sekedar sesuatu yang dinyanyikan, tapi membawa mimpi datang. Karena lagu menuntun langkah...

Sesaat sebelum pulang


Perjalanan pulang 


photos by Mashoeroel N P/ Liston O/ Anggarista A/ Fita P
          


Selasa, 10 Mei 2011

Ekspedisi Gede-Pangrango

Mengenang yang telah sudah.

Aku ingin kembali mengecap dingin, mengenyahkan letih, dan menjadi orang yang lebih tinggi daripada awan. Ketika kemudian waktu mempertemukanku dengan kesempatan itu lagi aku tak mau menyiakannya. Kali ini Gede-Pangrango.
Perjalanan impian untukku, awalnya hanya sebuah angan yang jauh adanya. Pun ketika hari kami di sesaki ritual pekerjaan dan kewajiban. Entah bagaimana caranya kesempatan datang (seperti kata Angga, tak ada yang tidak mungkin, semuanya tinggal menunggu waktu saja). Rencana sih memang diproyeksikan sudah hampir 6 bulan yang telah lalu. Kami –aku&Angga- mengajak beberapa teman untuk ikut dalam perjalanan ini atau lebih tepatnya bercerita tentang rencana pendakian Gede-Pangrango. Beberapa teman tanpa di ajak sudah ingin melibatkan diri (ternyata kekuatan narasi yang di barengi persuasi itu ngaruh banget...hehehehe).
Akhirnya ada 8 orang yang ikut andil dalam “Ekspedisi Gede-Pangrango” (cieeee...ekspedisi...). Aku, Angga, Reza alias Pacul, Liston, Bram, Kang Goen kiaine, Pito, Fandy. Dengan beberapa persiapan yang sedikit ruwet, harus boking tempat dulu cing...taman nasional gituh! Tapi untungnya ada sodara Pacul yang bersedia membantu. Terimakasih banyak buat mas Ikhsan(semoga saya tidak salah ketik nama) yang bersedia wira-wiri untuk mengurusi masalah perijinan.
H-6
Tim sudah fixed tinggal kirim biodata by email. Galink..terimakasih pinjeman scannernya (betewe itukan punya PKBI, berarti terimakasihnya untuk PKBI wae...hahahaha...:p)
H-5
Biodata sudah terkirim dengan sempat terjadi kebingungan karena lupa dengan alamat tujuan.
Angga : dot co dot id atau dot com ya???
Fita : udah kirim aja ke duwa2nya...hehehehe
H-4
Ada susulan orang (Fandy temennya Bram). Kirim.. email lagi Bo. (sudah mulai sibuk atur ini itu, beli ini itu, prepare ini itu, pinjem ini itu dan ini itu yang lain).
H-2
Breafing persiapan perjalanan
H-1
Beli tiket untuk esok hari (bagi yang belum tahu, tiket ekonomi jarak jauh bisa di boking lho sekarang).Hati udah deg-deg an gak karuan. Walah...kayak mau di kawinin besok pagi rasanya...hahahaha.
D day (19 Juli 2009)
Di pagi sudah sibuk prepare, cek sana cek sini dan ini itu. Berencana ketemuan jam 4 di stasiun Lempuyangan karena kereta Progo jurusan Pasar Senen yang kami tumpangi akan meluncur pukul 16.45 WIB. Tim sudah ngumpul di Lempuyangan, tapi tunggu...Bram dan Fandy belum datang tampaknya. Semua orang sibuk sms dan menghubungi mereka. 15 menit menuju keberangkatan menjadi waktu yang paling krusial (halah...opo toh...). Jawaban yang diterima oleh teman-teman Bram sedang berada di jalan alias otewe...walah...jalan sebelah mana tapi...puncak penantian kami adalah ketika ada suara lantang yang asalnya dari pengeras suara stasiun. You know...semacam pengumuman keberangkatan gitulah pokoknya. Apaaaaaaaaaaaaaaaa....semua terbirit masuk kereta...Wadehel tenan! Bram belum datang. Kabar terakhir dia masih juga di jalan. Semua awak ekspedisi kalang kabut. Tiba-tiba dengan santainya Bram menelfon.
Bram : Aku nyusul kok. Aku numpak bisnis, berangkat sore ini juga. Sampai ketemu di Senen ya kawan-kawan. Palingan juga nanti aku duluan yang sampai di sana....hahahaha...(masaaloh sombong nian anak ini...wkwkwk). Tapi ada nafas kelegaan di masing-masing kami.
Perjalanan panjang yang melelahkan. 10 jam berada di kereta yang perjalanannya penuh sesak dengan penumpang dan bakul-bakul asongan (mijone3 Akua dingin teh kotak tahu asin kipas2 koran2 yang diucap tanpa jeda). Tanggal 20 Juli pukul 03.00 dini hari kami sampai di stasiun Pasar Senen. Kesan yang kami tangkap tentang Jakarta adalah memang benar-benar ada kota yang sekumuh ini (setidaknya dibanding tempat tinggal kami Jogja). Hal pertama setelah turun kereta adalah antre toilet setelah itu mengulur otot yang sedari kemaren sore tak bisa bergerak karena keadaan kereta yang penuh sambil menunggu Bram tiba.
Perjalanan di lanjut ke Cileungsi (tempat sodara Liston tinggal) ada titipan dari Ibu Liston yang harus di sampaikan dahulu. Ya setidaknya kami juga bisa numpang mandi2 dan prepare lagi untuk pendakian. Wew...ternyata bis jurusan Cileungsi baru ada setaun lagi eh...jam 8 dink...tapi tetep aja penantian laksana bertahun-tahun bagi kami yang terserang capek dan ngantuk ini. Benar Pukul 8 lebih sedikit (15 menit) bus datang. Wah sorak-sorai kami membahana laksana ketemu gunung emas, laksana tiba-tiba diare setelah sekian bulan susah buang air...:P
Di atas bus yang nyaman dengan AC semilir (agak semribit malahan) semua terlelap seketika. Bahkan sekelas Romy Rafael pun tak bisa menidurkan kami secepat ini. Hingga pada akhirnya, ada suara yang masuk ke telinga ‘Cileungsi...Cileungsi...’ semua terkaget. Ada di mana kita???hah...kita tersesat..(lebai mode on). Kami terdampar di perempatan ramai di bawah jembatan layang dengan jumlah angkot paling banyak yang pernah kulihat. Plat nomernya F. Bogor donk...tanpa banyak kata Liston mencet-mencet HP...tulalat tulatit ada telpon masuk. Akhirnya kami diselamatkan sodara Liston yang kemudian di kenal dengan Mas Andre itu. Sampai di rumah Mas Andre segera saja bersih-bersih dan berkemas-kemas (eh ada makan siangnya juga loh...ketoprak maaaan...). Pukul 13.00 kami berangkat ke Gunung Putri di antar Mas Andre dan ayahnya (maaf om...gak tahu namanya...). separuh perjalanan yang kena trafficjam alias macet di jalur puncak. Banyak orang menikmati liburan ini tampaknya.
Sampailah di terminal terakhir jalur Gunung Putri dengan beberapa anggota tim yang sudah ngos-ngosan karena sempat harus mendorong mobil. Pemanasan teman-teman...
17.00 tiba di basecamp gunung Putri dengan sedikit berjalan dari pemberhentian mobil yang mengantar kami. Langsung saja lapor ke tim basecamp dengan membawa surat pengantar yang di kasih sama mas Ikhsan. Semua oke tanpa pemeriksaan barang bawaan cuma sialnya waktu pendakian tak boleh di tawar.
Bram : Mas waktunya boleh lebih dari 2 hari 1 malam ya...dengan nada mengaharap tentunya.
Mas2 beskem : wah gak boleh nanti cuma nambahi sampah kalau lama2 di atas lagian susah kalau malah nanti kehabisan bahan makanan.
Angga : tapi kami berencana untuk 2 puncak sekaligus mas..habis ke Gede terus ke Pangrango.
Mas2 beskem : tetep gak bisa. Nanti kalo telat turunnya di denda 20kali lipat dari biaya asli. (itu berarti 5000X20=100..busyet 100rb cing...8 orang jadi 800rb...Sugihhhhhhhhh)
Semua ber oh ria.
Angga : kira-kira dari sini ke alun-alun Surya Kencana berapa jam ya mas?
Mas2beskem: ya...4-5 jam lah. Tapi kalau kalian saya percaya Cuma 3 jam sampai (belakangan kami tahu ternyata kami di ece toh...edan...kewanen tenan)

Kami breafing sejenak. Semua oke, diputuskan untuk berangkat jam 19.00. awal perjalanan seperti biasa. Ladang,jalan menanjak dengan bonus2 (ternyata awalnya saja), semua tim sehat. Pos 1 terlewati. Pos 2 oke punya. Pos 2 ke pos 3 lumayan berusaha keras. Pos 3 ke pos 4, jatuh bangun dengan kedaan masing2 person yang sudah menurun stamina dan konsentrasinya (sayangnya waktu itu gak ada yang jualan mizone). Pos 4 ke pos 5.
Pie To???? Sahut semua tim yang di belakang bergantian.
Fuuuuuuuuuuuuullllll!!!!!!! Cuma itu jawaban Pito yang di daulat jadi leader. Langsung saja sepertinya tambah beban yang diangkut menjadi 1 kilo lebih berat ketika mendengar jawaban itu. Lama-lama jalannya kok makin ra kalap batinku dalam hati (tidak lagi kuat bahkan untuk sekedar ngobrol antar masing2 kami).
Beberapa cerita mistik menghiasi perjalanan kami. Dari Fandy yang ketemu Angga tiruan, Pito yang ketemu scene yang sama setiap habis tanjakan dan keaadan Surya Kencana yang ramai bukan main dalam perasaan kami masing2.
Surya Kencana, sebuah alun2 dengan luas 50 hektar yang berada di ketinggian hampir 2500mdpl. Bisa bayangkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana? padang datar yang ditumbuhi edelweis dengan luas yang tak habis oleh mata (kalau yang pernah tahu, posisinya semacam pasar bubrah di Merapi). Kami berjalan 30 menit mencari tempat yang dekat dengan mata air untuk mendirikan dome. Langit maha luas dengan tabuaran bintang yang MasyaAlloh banyaknya (pernah melihat yang seperti ini di gunung lain tapi yang ini begitu dekat) belasan bintang jatuh yang terekam pandangan kami.
Amajing...Amajing...Amajing kata Fandy.
Lama berjalan mencari mata air, keadaan yang sudah benar2 habis sementara terpending akibat pemandangan yang maha luar biasa ini. Ketika ketemu mata air kemudian dome didirikan dengan terburu-buru akibat hawa dingin tak berkompromi, segera saja semua masuk ke peraduan masing-masing. Aku di dome ku dengan Angga, keadaan serba membingungkan dalam pikirku. Ingin segera menutup mata tapi badan menggigil tak karuan. Angga kebingungan. 2 sleebing bag habis membalutku. Tak cukup rasanya menghalau dingin. Aku benar-benar ingin tidur. Angga mati-matian melarangku. Dia senteri bibirku, membiru katanya. Aku tau, aku hampir hipotermia, kakiku sudah mati rasa. Aku berusaha untuk tetap sadar.
Tiba-tiba dari dome sebelah ada gaduh. Fandy hipotermia. Pacul berteriak memanggil semua yang ada. Ingin aku ikut membantu tapi tak kuat rasanya, dingin ini terlalu erat mendekapku. Semua orang bingung bukan kepalang satu hal yang ada di kepala masing-masing bahwa tak boleh ada yang mati (sumpah serem banget nulisnya). Pukulan-pukulan mendarat di muka Fandy. Semuanya berusaha agar fandi tetap dalam keadaan sadar. Gun dan Pito dengan segera menyalakan kompor. Aku tahu tangan mereka beku dan sakit saat memegang sesuatu, aku juga. Dan lama setelah itu kekhawatiran berangsur pudar...
Hingga pagi datang. Keluar dome masih berasa mak nyes. Pasti suhu sampai 0 derajat. Rerumputan berbunyi ketika di injak, beberapa barang ditumbuhi air yang mengkristal, tapi yang luar biasa. Semua serba indah dalam pandangan. Puncak Gede menyapa kami. Sarapan selesai dengan menu istimewa, nasi goreng kornet ala surya Kencana. Bubrah2 dome, packing, poto2 (agenda wajib) dan berangkat untuk muncak. Jam 12 tepat ketika matahari ada di ubun-ubun, kami sampai di Puncak Gede. Dataran rata semacam punggungan tipis yang merupakan dinding kawah. Wuedan...kami sampai di ketinggian 2958mdpl, benar-benar di atas awan, melihat Samudra Indonesia di depan mata.



Jam satu start perjalanan turun via Cibodas, kabarnya kami nanti akan di suguhi panorama yang lebih oke, air panas, air terjun, danau...ah...tak sabar lagi. 2 jam perjalanan sampai di Kandang Badak, pos yang ada di bawah pertigaan jalur Gede-Pangrango. Pukul 17.00 melanjutkan perjalan dengan niat akan menginap di shelter air panas. Tak dinyana keadaan berbalik ketika kulihat shelter itu. Ngeri banget lhek...(logat orang Merapi yang suka Angga peragakan).
Fita : wew...neng kene po??? Mbok turun lagi wae. Cari shelter paling deket sing penting ora neng kene.
Pito :gak po2 fit (logat kental jawa timurnya)..malah isoh gawe api unggun neng kene. WC dekat...(di shelter masih ada sisa bangunan yang tak terawat, terbengkalailah lebih tepatnya,pohon ukuran super gede, matahari tak jatuh sinarnya)
Fita : Over keweden mode on tanpa bisa bicara sepatah kata pun.
Angga : (sok bijaksana) bagaimana kalau kita ngecamp di Cibereum??
Liston : ha adoh cuk..kesel je...neng peta rong jam lho...(NB :peta di kasih sama mas2 beskem Gunung Putri dan isine ora compatible sebagai bahan acuan..contoh di peta 80 menit dilakoni 2 jam)
Angga : (tanpa melihat)...ayo mangkat mumpung ada rombongan lain yang mau turun. Lumayan ada kancane.

Sampai di shelter air terjun Cibereum dengan sebelumnya banyak yang sudah mengeluh. Jalannya bak turun Lawu via cemoro kandang. Watu thok...bisa di samakan dengan refleksi setaun lamanya,hampir masuk jurang gara-gara maksa pake senter yang hampir padam. Terimakasih...untung ada Bang Fandy yang menarik tangan saya.
Tidur dengan lelap dan hangat...3 dome dipaksa masuk di satu pos. Pagi menjelang, saatnya untuk tamasya dengan sebelumnya sarapan istimewa (nasi liwet, sarden, kornet, sup krim ayam, mie goreng...luar biasa kenyang). Air terjun Cibereum jadi sasaran kami untuk menghabiskan pagi. Brrrrr...airnya adem banget. Sempat ekskresi di sono karena menemukan WC (neng gunung ono WC...jempolan!!!). pulang ke tempat ngecamp untuk packing dan turun. Sepanjang perjalanan di suguhi atraksi alam yang luar biasa.Telaga Biru (danau yang aernya berubah menurut warna ganggang yang ada, kadang biru, coklat, hijau). Rawa Goyanggong (jembatan kayu panjang di atas rawa yang konon sering dibuat tempat maen macan-macan. Di banding jalur Gunung Putri, Cibodas lebih landai, bonus teruslah (dengan semangat kami menobatkan jalur Gunung Putri dengan sebutan “ Cikirik”...)Sampailah sudah di basecamp. Laporan. Makan. Belanja. Pulang ke Cileungsi lagi (terimaksih untuk Mas Andre sekeluarga yang bersedia menampung kami...maaf sedikit merepotkan...hehe).

Perjalanan berharga bersama kalian yang benar-benar menyita seluruh emosi. Terimakasih banyak kawand. Sampai jumpa di perjalanan mendatang. (betewe ada yang mau traktir kita diving di Gili Trawangan loh...awas nek lali...hahahahaha)
Benar tampaknya, Semeru hanya menunggu waktu sayang. Oh...mungkin tak hanya Semeru. Argopuro, Rinjani, Lombok, Meru Betiri, Toba, dan rencana trip yang lain.
Terimakasih telah membawaku ke atap-atap pulau, negeri atas awan....
Jogja, Juni 2009