Sabtu, 12 Mei 2012

Saya Memilih Belanda!

Beberapa hari yang lalu saya datang dalam sebuah diskusi peluncuran buku biografi dari Budi Wahyuni. Seorang penggiat gender yang kiprahnya sudah tidak di ragukan lagi. Saya membaca curriculum vitae yang berada di bagian belakang buku biografinya. Beliau ini pernah menempuh pendidikan di Belanda. Terbersit di pikiran saya untuk meneruskan pendidikan di jenjang pasca sarjana. Yah.. meskipun saat ini saya belum menyelesaikan kuliah sarjana saya. Hehe..
Well, ada beberapa pertimbangan yang membuat saya ingin meneruskan kuliah pasca sarjana ke Belanda :
  •  Belanda adalah salah satu negara yang mempunyai perguruan tinggi dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan meskipun negara ini mempunyai bahasa ibu bukan bahasa inggris. Bukannya kemudian saya tidak mau mempelajari bahasa Belanda, namun saya rasa tawaran ini sangat memudahkan mahasiswa yang ingin melanjutkan studinya ke negara tersebut.
  • Belanda adalah negara yang sampai saat ini saya mempunyai kesan bahwa negara tersebut adalah negara yang ramah dengan semua orang. Banyak sekali orang Indonesia yang nyaman tinggal di sana. Sedikit indicator bahwa Belanda bersikap terbuka dengan semua yang datang dan tinggal di sana.
  • Belanda adalah sebuah negara yang letaknya strategis. Banyak hal yang membuat saya ingin datang ke Eropa dan saya kira akses tersebut akan lebih mudah ketika saya bisa tinggal di Belanda.
  • Di Belanda saya memiliki lebih banyak koneksi di banding dengan negara lain di Eropa. Saya rasa alasan terakhir ini akan lebih mempermudah saya ketika saya memang bisa mengambil studi ke sana.
 Diluar itu, saya merasa pendidikan di Belanda bisa membuat saya lebih berkembang. Saya beberapa kali sempat berkerja sama dengan orang Belanda dan saya benar-benar merasa terinspirasi dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka adalah orang kreatif yang tidak pernah berhenti menciptakan inovasi seperti tulisan saya sebelum ini. 
Jadi mulai sekarang saya  kira saya harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa mendapatkan beasiswa ke sana. Wish me luck!!


Ketika Bahasa Menjadi Batas




Saya masih ingat beberapa waktu lalu ketika saya menemani seorang teman dari Belanda yang magang di kantor tempat saya menjadi relawan. Bess, begitu saya memanggilnya. Dia memiliki ketertarikan untuk melakukan riset di kalangan pekerja seks di Sosrowijayan, Yogyakarta dan saya bertugas menemaninya untuk pengambilan data, mewawancarai beberapa perempuan pekerja seks mengenai kehidupan mereka. Saya rasa ini bukan hal mudah. Pertama adalah karena saya adalah relawan yang masih tergolong baru di isu pergorganisasian komunitas khususnya perempuan pekerja seks dan kedua, karena Bess adalah orang asing. Jadilah kami sama-sama orang ’asing’ yang berusaha mencari tahu mengenai seluk-beluk pekerja seks di Sosrowijayan.
Bess, melakukan riset ini sebagai tugas akhirnya di perguruan tinggi dan beberapa waktu lalau saya mendapat kabar darinya bahwa sekarang dia sudah lulus. Saya turut bahagia karenanya. Tapi bukan kebahagian itu yang akan saya sampaikan sekarang. Melainkan hal-hal yang kami hadapi ketika saya membantu riset Bess di Sosrowijayan.

Seperti yang saya sampaikan mengenai betapa sulitnya menggali permasalahan di kalangan pekerja seks pada awal tulisan ini. Saya dan Bess memulai riset ini dengan melakukan pemetaan di daerah Sosrowijayan, kemudian melakukan pemilihan beberapa perempuan pekerja seks untuk diwawancara secara lebih mendalam. Di sinilah semua berawal. Bagi teman-teman komunitas, bukan hal yang baru jika ada orang yang datang dan bertanya mengenai kehidupan mereka, tapi sekali ini yang datang adalah seorang warga negara asing.
Teman-teman komunitas pekerja seks merasa canggung dengan ruang perbedaan yang belum pernah mereka lampaui. Ruang perbedaan budaya atau secara teknis adalah bahasa menjadi satu alasan penolakan wawancara. Bahkan ketika saya menyampaikan bahwa saya akan membantu untuk menerjemahkannya. Awalnya saya berfikir permasalahan perbadaan bahasa ini bisa saya jembatani, tapi justru menjadi sulit ketika di lapangan saya menemukan yang sebaliknya. Habislah saya.
Hingga datanglah satu lagi kejutan Bess untuk saya. Dia sudah belajar bahasa Indonesia. Oh my God. Pada akhirnya dia menyapa beberapa orang yang akan diwawancara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya kira inilah yang membuat teman-teman komunitas pekerja seks yang menjadi narasumbernya merasa dekat dan pada akhirnya mau untuk diwawancara. Meskipun Bess belum begitu lancar berbahasa Indonesia, saya begitu terbantu dengan pemahamannya.
Satu lagi yang diberikan pendidikan Belanda yang mungkin saja, di Indonesia ini kamu tidak mendapatkannya. Kemampuan untuk menjadi seseorang yang bisa memetakan dengan baik. Thank’s Bess..it’s inspiring me..:)

Senin, 07 Mei 2012

Sebuah Pencerahan dari Negeri Tulip




Saya bukan orang yang pernah pergi mengenyam studi di Belanda. Sekedar untuk singgah ke sana saja masih berupa impian yang sampai saat ini saya masih berusaha mewujudkannya. Awal ketertarikan saya tentang studi ke Belanda adalah ketika saya berkesempatan untuk menemani 2 orang berkebangsaan Belanda untuk magang dan melakukan riset di komunitas pekerja seks Sosrowijayan.
Mereka adalah Bess Doornboss dan Maya Westerhof.  Dua teman ini datang di suatu siang ke kantor tempat saya menjadi relawan pengorganisasian komunitas yang termarjinalkan. Mereka sedang datang ke Indonesia dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di perguruan tinggi yang sedang mereka tempuh.   Bess melakukan riset mengenai kehidupan pekerja seks di Sosrowijayan atau yang lebih dikenal dengan “sarkem” dan Maya magang di LSM kami.
Suatu saat saya sempat iseng bertanya mengapa dia sampai jauh-jauh ke Indonesia untuk melakukan riset mengenai pekerja seks. Karena kalau sejauh yang saya tahu, di Indonesia riset kebanyakan dilakukan di Indonesia sendiri  atau kalau perlu tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan riset, apalagi jika riset tersebut adalah riset untuk syarat kelulusan. Dia bilang justru dengan melakukan riset di lain tempat (lain negara) ada rekomendasi yang bisa disumbangkan karena kalau melihat pekerja seks yang ada di Belanda, mereka sudah jauh di depan ketika berbicara mengenai HAM. Meskipun kemudian, memang karena negara dan pemerintah sudah membangun sistem yang yang mempunyai perspektif HAM juga. Mungkin salah satunya itu yang dibutuhkan di Indonesia, jelasnya. Saya terus terang kaget dengan statement pendek, namun lugas yang diberikan Bess.
Saya kira, kalau kebanyakan mahasiswa Indonesia tidak terlalu perduli dengan permasalahan disekitar mereka itu bukan karena mereka yang tidak perduli, namun karena sistem pendidikan di Indonesia tidak serta merta membuat peserta didik menjadi seorang yang peka. Berbeda dengan yang saya tangkap dari beberapa teman yang pernah mengenyam studi ke Belanda atau belahan dunia lain misalnya.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Belanda cenderung membuat peserta didik menjadi proaktif. lembaga pendidikan adalah sebuah sarana untuk memfasilitasi keingintahuan peserta didik bukannya malah membuat peserta didik enggan berfikir yang lain kecuali hal akademis. Lebih penting lagi adalah bagaimana fenomena-fenomena yag terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu adalah hal yang bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, maka fungsi pendidikan adalah memberikan berbagai macam sudut pandang tersebut. Itulah kemudian kenapa mahasiswa Belanda seperti Bess misalnya bisa memandang sebuah realitas dengan cara pandang yang beragam. Kalau saja sistem pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, maka kita tidak akan pernah diajarkan untuk menjadi judmental dan hanya berfikir secara parsial saja.

 Tapi seperti semua perubahan yang butuh proses, semoga sistem pendidikan di Indonesia sedang berproses untuk lebih baik.

Jumat, 17 Februari 2012

Bukan di Atas

12 Juni 2010
14.30 WIB


Bukanlah gambar mobil mewah, motor keren, atau perhiasan aduhai yang mengobati kantuk kami siang ini ketika menonton suatu acara di salah satu stasiun TV swasta. Melainkan gambar beberapa orang menggendong rucksack melintasi jalanan terjal di ketinggian yang berbalut kabut. Spontan kami menyahut,”Gunung mana nih?”
Beberapa detik kemudian terdengar sepenggal kalimat si narrator,”..mengitari bukit puncak Cokro Suryo..” dan Lawu-lah jawabnya. 
Penasaran kami mencoba mengidentifikasi lebih lanjut dengan mencermati keadaan di sekitar para pendaki itu. Jalur dari pos 2 Taman Sari Atas menuju Penggik melintasi pinggir jurang Pangarip-arip menutup keingintahuan kami. 
Saat itu Abi sedang menikmati tiap hisapan susu dari Ibu. Aku mencoba mencuri perhatiannya dengan berkata,”Abi, itu lho..Lawu, orang naek gunung..”
Aku tidak begitu yakin apakah si Bandel ini paham benar dengan perkataanku. Tapi paling tidak aku berhasil mendorongnya untuk sejenak memperhatikan TV. Mata kecilnya sempat tertahan beberapa saat ke layar tersebut dan tanpa celoteh sedikitpun. Maklum, saat paling nikmat bagi bayi adalah ketika meneguk susu Ibunya. 
“Besok kita ke sana, itu pos Penggik, Gaga sama Ita kalo nginep di situ. Terus kalo udah gak capek lagi baru naek ke puncak, tinggi..”,ujarku saat gubuk kuning Penggik nampak di layar TV. Abi menatap kami sambil terus menghisap susu yang Aku lupa bagaimana rasanya. 

..Itu pasti, esok nanti setelah kamu punya cukup tenaga dan waktu. Kamu akan bersama kami di tempat yang saat ini mungkin kamu belum mengerti benar tempat apa itu. Tidak perlu menunggumu tumbuh setinggi Cantigi, cukuplah ketika kamu mampu untuk mengenakan sepatu dan pakaianmu sendiri. Saat kamu mampu menggendong ransel kecil sederhanamu, saat itu pula kita sudah berada sedikit lebih tinggi daripada awan yang paling rendah. Kami ingin mengajarimu menggambar pemandangan alam versimu sendiri, bukan gambar pemandangan dua gunung mengapit matahari terbit berpayung gelombang awan yang kelak akan kamu lihat di banyak gambar kawan-kawanmu. Bahwa ada pemandangan alam yang menakjubkan dan mudah digambar, yaitu momen ketika matahari muncul di atas horizon yang sejajar dengan kakimu, dan awan itu ada jauh di bawah. Kelak kamu mampu akan mampu membuktikan perkataan kakak-kakakmu : Melihat awan tidak seharusnya selalu menengadah ke atas, cukup dengan melirik sediki ke bawah..

Write by : Anggarista A

Minggu, 29 Januari 2012

Cerita

Beberapa tulisan yang akan di tuliskan dengan label "Cerita"  merupakan reposting tulisan Anggarista yang entah  mulai kapan dia menuliskannya. Terangkum dalam agenda usang yang saya temukan ketika membersihkan kamar. Oh iya, saya juga sudah minta ijin si empunya untuk mengepostnya di blog saya ini.


menulislah dan kau akan senantiasa hidup...begitulah pesannya selalu.