Selasa, 09 Agustus 2011

Sekali Lagi Menyapa Merapi


Akan ada waktunya nanti, kita berada di atas sana. Melihat betapa dahsyat kekuatan erupsinya. Bukan sekarang. Semua bisa saja terjadi di atas sana.  Gumam tak jelas yang mengiringi langkah kami ketika mengikuti lava tour Merapi pasca erupsi 2010. Berpayung langit mendung dan kabut yang perlahan merenggut pemandangan puncak Merapi yang terasa begitu lain. Memang lain karena erupsi dahsyat telah meruntuhkan dinding-dinding kawah dan menghapus kubah bentukan erupsi sebelumnya.

Merapi dari Puncak Merbabu


Jadi ingat, 2 bulan sebelum erupsi terjadi, saya dan teman-teman mendaki ke sana. Saat itu beberapa adik angkatan SMA minta ditemani muncak. Ada beberapa orang yang sudah bolak-balik naik namun belum pernah muncak. Jadilah kami kemudian ikut acara ‘mengejar puncak’ tersebut. Sebenarnya dari awal pendakianku dengan beberapa teman memang tidak terlalu menjadikan puncak sebagai titik suksesnya pendakian. “Puncak itu bonus”, kata Angga. Yang perlu sangat diingat, dipelajari dan kemudian menjadi bahan evaluasi adalah perjalanan menuju ke sana. Bahwasanya naik gunung bukanlah menaklukkannya, namun menaklukkan ego masing-masing.
17 September lebih tepatnya, kami melakukan pendakian ke Merapi. Kami terbiasa menggunakan motor untuk sampai ke basecamp. Kebetulan jarak Jogja-Boyolali tidak terlampau jauh. Pun menjadi lebih praktis ketika menggunakan motor karena kami terkadang memanfaatkan hari libur yang singkat  saat weekend untuk mendaki gunung tersebut. Pendakian via Selo juga merupakan jalur yang paling singkat dan sering dimanfaatkan para pendaki kebanyakan.
Merapi (2965mdpl), siapa yang tidak mengenal gunung ini. Salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia bahkan di dunia. Hal yang menjadikannya populer dan sangat prestisius di kalangan para pendaki. Banyak pendaki mancanegara yang sering datang. Bahkan di mata wisatawan adalah menjadi kelengkapan mereka ketika berkunjung ke Indonesia, begitu kata rombongan wisatawan Eropa yang berbarengan saya saat boarding di Ngurah Rai beberapa waktu lalu. Ah, bangga sekali mendengar cerita mereka mengenai Indonesia, secuil surga yang jatuh di dunia.
Well, pukul 16.00 WIB kami sudah berada di basecamp Selo. Sambil menunggu beberapa teman yang masih di jalan, kami menyempatkan makan dan aklimatisasi. Pukul 17.30 WIB kami berangkat naik, seperti biasa menyempatkan diri untuk breafing dan cek perlengkapan. Safety first, Bung! Setelah berjalan 1,5 jam sampailah kami di Pos 1. Track lumayan naik dengan beberapa bonus di awal perjalanan saat kami melewati ladang. Pos 1 ke Pos 2 kira-kira 1 jam. Di Pos 2 kami agak lama berhenti, menyempatkan untuk membuat kopi panas sebelum meneruskan perjalanan. Perlu di catat bahwa di sepanjang perjalanan sampai puncak Merapi via Selo, tidak ada mata air. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membawa air dari basecamp. Biasanya kami mewajibkan min. 3 liter air untuk masing-masing personel.


Pos 2 sampai Pos 3 biasa ditempuh selama 45 menit perjalanan. Pos 3 – Pasar Bubrah kira-kira 30 menit. 15 menit menjelang Pasar Bubrah kabut sudah mulai turun, angin berubah kecepatannya. Badai. Kami tetap meneruskan perjalanan dengan pertimbangan tempat untuk mendirikan camp sudah dekat. Pukul 22.30 WIB kami sampai di Pasar Bubrah. Bergegas semua personel mendirikan dome. Karena kebetulan kami membawa dome besar (lokon) bergotong-royonglah tim mendirikannya di tengah badai. Lokon berdiri dan kami beristirahat. Esok pagi kami berencana summit attack ke puncak.

Menjelang Pasar Bubrah

Pasar bubrah tempat kami bermalam adalah sebuah tempat datar terbuka seperti lapangan yang berisi batu dan pasir. Vegetasi yang tersisa hanyalah cantigi. Di Pasar Bubrah inilah para pendaki biasanya mendirikan dome sebelum melakukan summit attack ke puncak yang hanya menghabiskan waktu sekitar 45 menit – 1 jam. Pagi sekali kami bangun. Badai nampaknya belum usai. Hingga pukul 10.00 WIB Kabut statis masih menutupi kubah. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Tim memutuskan untuk menunggu, kalau jam 12.00 WIB keadaan belum berubah kami akan turun. Penantian kami diiringi beberapa kali sapaan matahari yang datang ketika kabut menghilang, namun tak berapa lama kabut datang lagi seperti tirai pertunjukan saat usai. Dibeberapakali itulah kami sempat bersorak-sorai senang dengan harapan bisa summit attack. Keadaan sama sekali tak berubah, kawan-kawan tak sabar menunggu. Mereka memutuskan untuk segera summit attack dengan pertimbangan kabut berkali-kali hilang.
Di tengah Kabut Pasar Bubrah




Puncak Merapi sebelum Erupsi 2010

Saya sendiri sudah kehilangan mood untuk ke puncak akhirnya saya menunggu di pasar bubrah sementara teman-teman melakukan summit attack. Lagipula saya sudah pernah sampai puncak, kata saya ke Angga. Besok lagi sajalah, sudah pewe! Tambah saya. Akhirnya rombongan berangkat ke puncak. 2 jam kemudian mereka sampai kembali di pasar bubrah. Tim bersiap packing untuk turun. Sebelum gelap menyingsing,kami telah sampai di basecamp Merapi.


Memandang senja dari ketinggian yang tak biasa hanya sebuah kemenangan kecil dari sebuah kemenangan besar atas ego.


 Photo's by Ditya Fajar Rizkizha