Sabtu, 26 Februari 2011

Sejuta Kesedihan untuk A-long

Sedih saya luar biasa sore ini. Bukan karena saya kehilangan benda milik saya yang berharga, namun karena sebuah artikel yang saya baca. Sekelumit kisah tentang bocah cilik berkewarganegaraan China yang mengidap  HIV&AIDS. 
Saat kita sedang berumur sama dengan dia sekarang, mungkin kita sedang bersuka cita karena hadiah sepeda baru, sedang semangat sekali dengan "sekolah" dan gembira dengan berbagai macam permainan anak seumuran. Lihatlah apa yang anak ini lakukan dengan apa yang dimiliki serta kesendiriannya. Ya..sendiri, karena dia telah diasingkan hanya karena penyakit yang diidapnya.


Kedua orangtuanya telah meninggal karena penyakit yang sama.


A-Long mengerjakan semunya sendirian.





Bahkan bermain pun dia sendirian.


satu-satunya sahabat yang tak pernah meninggalkannya adalah....



Teman, akan sampai kapan stigma dan diskriminasi ini akan terus dilanggengkan? Akan ada berapa banyak lagi A-Long yang lain?
 Mari hentikan stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman kita yang positif HIV&AIDS. Berantas virusnya, bukan orangnya!


http://www.a-w-i-p.com












Rabu, 09 Februari 2011

Tuhan tak Perlu Dibela

Dengan meminjam istilah Gus Dur di atas, saya akan membuka ruang diskusi tentang apa yang sedang terjadi di negeri ini..

Saya  miris dengan beberapa kejadian yang ada belakangan, soal penyerangan pengikut Ahmadiyah juga pembakaran gereja di Temanggung. Tambah miris ketika hal tersebut terjadi berdekatan dengan hari kerukunan antar umat beragama. Pasti nya kebanyakan orang yang berfikiran terbuka akan bertanya-tanya mengapa hal tersebut sampai terjadi. Seolah-olah serangan massa dikejadian-kejadian di atas adalah hal ghaib yang tak dapat dilihat mata telanjang.

Sialnya, negara seakan tutup mata dengan serangan tersebut. Dan (lagi) presiden kita hanya berkata prihatin, sebenarnya sangat prihatin katanya. Kali ini ditambah "sangat" karena kata sangat akan menimbulkan citra yang berbeda. Seolah ada pembiaran yang dilakukan oleh negara atas kasus kekerasan dan kejahatan HAM yang kita semua tahu kasus tersebut mungkin sudah berpuluh tahun lamanya. Bahkan banyak saksi mata yang sudah meninggal. Kalau sudah begitu bagaimana mau melakukan peradilan. Ujung-ujungnya kasus akan ditutup, beberapa orang akan tetap bebas merdeka dan segelintir kepentingan dapat terselamatkan.

Inilah yang menjadi pikiran saya, bahwa negara telah menjadikan dirinya seorang teroris. Teroris yang akan terus menghantui kelompok-kelompok tertentu dalam susunan masyarakat bangsa. Cukup dengan melakukan pembiaran-pembiaran atas kekerasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, menutup mata atas tumbuhnya organisasi pergerakan yang (di mata saya yang awam) selalu menggunakan kekerasan, dan kemudian cukup dengan melakukan sekian proses penundaan atas persidangan kasus HAM yang banyaknya tak kepalang.



Saya kira, Kita ( Indonesia) bukan baru setahun dua tahun saja hidup di alam keberagaman. Di rimba toleransi yang begitu besarnya. Tapi mengapa tiba-tiba saja persoalan perbedaan ini mencuat begitu saja. Hemat saya, tidak akan pernah ada keindahan jika semua hal menjadi sama dan serupa. Keindahan adalah perbedaan itu sendiri. So Kawan, kenapa kemudian kita harus memaksakan kehendak atas keyakinan terhadap sesuatu. Semua orang berhak atas keyakinannya. 

Dan lalu, Tuhan tak perlu dibela. Karena apapun yang akan terjadi Dia akan tetap pada Ke Maha -an Nya. karena jika pun Dia mau, Dia bisa melakukan apapun yang Dia ingini. 

Biarlah semua seperti pelangi, yang menjadi indah karena perbedaan warnya.

Jumat, 04 Februari 2011

Begitu Rapatnya Rindu Itu

Siang yang agaknya akan hampir pasti berawan dan sore yang berbau tanah basah. Belakangan akrab sekali dalam hari-hari kita.
Sekalipun itu akan terik maka tidak akan lama hembusan angin yang bau hujan datang untuk mengabarkan datangnya rintik yang makin lama semakin merapat. Seiring dengan keadaan itu, rindu saya pun semakin rapat saja pada tanah tinggi..negeri di atas awan.

Bukannya saya tidak mungkin ke sana karena cuaca yang demikian, namun menjadi kurang bijaksana ketika saya tetap ngotot berangkat sedang tidak ada satu hal pun yang dapat memprediksi alam. Meski di beberapa waktu yang lalu saya juga sempat melakukan perjalanan ketika musim sama seperti sekarang. Pun kemudian, ada beberapa hal yang tidak bisa saya tinggal untuk beberapa kurun waktu ke depan. 
Saya sudah tidak sabar menunggu matahari menjadi terik sepanjang hari. Yang menjadikan sore adalah spektrum warna luar biasa ketika dia semakin menjauh. Karena menjadi tanda-tanda saya akan kembali ke tinggian. menikmati bermacam hal di atas sana. Bersama para sahabat tentunya...

Rabu, 02 Februari 2011

Hujan dan Sebuah Refleksi dalam Obrolan Minum Kopi

Ada kalanya, hujan itu memberi ruang besar untuk menemukan sesuatu. Terkadang adalah wahana yang begitu nyata tentang apa yang dinamakan " refleksi". Kali ini saya lebih suka menikmatinya dengan secangkir kopi tradisional khas sebuah perkebunan yang coffe shop nya tersebar di beberapa kota, Banaran.

Di sana saya berbincang ngalor-ngidul dengan seorang dokter (masih)  muda yang dimata saya begitu cantik karena keseksiannya berfikir dan caranya menyampaikan pendapat. Yang saya heran adalah, bagaimana bisa saya begitu nyambung dengan obrolannya mengenai segala macam penyakit, obat, budaya masyarakat, layanan kesehatan, stigma kepada komunitas tertentu, dan tentunya bagaimana birokrasi kadang jadi hal yang paling menyebalkan di dunia. Malam ini saya menemukan jawabannya, karena saya ada dalam lingkaran apa yang kami bicarakan tersebut. 

Secara langsung saya tahu bagaimana ketidaknyamanan komunitas tertentu pada akses layanan kesehatan. Bagaimana kemudian mereka di stigma atas identitas yang melekat pada diri mereka. Bagaimana identitas tersebut dipandang sebagai sebuah "perbedaan" yang melahirkan diskriminasi, bukannya sebagai "keberagaman" yang nyatanya lebih indah.

Bukannya saya mengecilkan apa yang dinamakan orang-orang dengan "sekolah". Sebuah institusi yang di kultuskan begitu rupa hingga membuat segelintir orang lupa bahwa semua tempat sejatinya adalah "sekolah" (tempat belajar) dan setiap orang adalah "guru". Tapi lihatlah, apa yang saya lakukan 2 tahun ini berdampak begitu besarnya, bahkan membuat saya tidak kikuk berbagi pikiran dengan seorang dokter yang sekaligus staf pengajar pasca sarjana ini. Kemudian saya mulai bertanya-tanya, kenapa orang menjadi begitu angkuh karena pendidikan informal yang dia dapat sedang dia tidak pernah berbuat apa-apa untuk sekelilingnya. 


Dan teman-teman, inilah saat tepat untuk "refleksi"...semoga anda "menemukan"