Jumat, 16 Desember 2011

Saat Sumbing Memberi

Siang itu, beberapa diantara kami sedang sibuk dengan ber-packing ria dan menciptakan slide gambar-gambar pendakian Slamet di benak kami. Kebanyakan keperluan sudah di tangan, tinggal dibungkus sedemikian rupa agar semua bisa terbawa. Jelas terbayang di kami mengenai Standart Operasional Prosedure pendakian. Tidak ada satupun peralatan yang boleh tertinggal. Saya sendiri sudah membuat check list untuk persiapan akhir. Hingga kemudian Angga mengirim sms ke sebuah nomor milik TIM SAR Gunung Slamet. Entah kenapa dia melakukannya, karena sebelumnya tak pernah kami melakukan konfirmasi untuk konfirmasi pendakian selain ketika kami melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango.
Perasaan tidak enak disusul kemudian dengan jawaban yang datang melalui pesan singkat yang menyampaikan bahwa Gunung Slamet ditutup sementara karena sedang aktif. Padahal sebelumnya kami sudah mencari data melalui internet  mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pendakian Slamet. Meskipun ini ada perjalanan kali ke dua kami, namun saya dan teman-teman tidak mau gegabah, pun karena perjalanan pertama saya itu sudah sekitar 3 tahun yang lalu.
Sengaja kami tak memberitahu teman-teman melalui pesan singkat mengenai kabar tersebut. Pastilah akan ada banyak pertanyaan. Maka kami memutuskan untuk menyampaikannya ketika bertemu (pada saat kumpul sebelum berangkat). Sudah terngiang dibenak kami macam pertanyaan apa yang akan teman-teman sampaikan. Terus gimana Bang? Berarti kita gak jadi naik gunung ya? Dan pertanyaan sejenis menggempur kami ketika menyampaikan kabar yang kurang menggembirakan itu. Beberapa orang adik angkatan kami yang sangat ingin ke Gunung Slamet sempat kecewa berat pasalnya, segala hal telah dipersiapkan dan Tim tinggal berangkat saja.
Melewati diskusi yang pelik dan merancang penerobosan nekat, akhirnya tim memutuskan untuk mengubah destinasi ke Gunung Sumbing. Malam ini kami berangkat langsung menuju ke Desa Garung, di mana base camp Gunung Sumbing Berada. Menempuh 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Jogja, relatif tidak terlalu jauh. Pukul 24.00 WIB kami sampai di base camp dan sedianya kami akan menginap sebelum start pendakian esok harinya. Malam itu base camp ramai, sampai kami hampir tidak mendapatkan tempat untuk tidur. Tak banyak yang kami kerjakan malam itu hanya beberapa dari kami berbincang dengan sesama pendaki yang ternyata juga memilih mendaki Sumbing karena mendapatkan kabar mengenai ditutupnya Gunung Slamet. Ternyata nasib kurang beruntung itu tidak hanya menimpa kami. Bahkan ada dari teman pendaki tersebut yang sudah sempat menginap di basecamp Gunung Slamet, namun tetap tidak diijinkan untuk mendaki. Tim SAR mengabarkan bahwa bau belerang tercium sampai ke pos 5.
Pukul 09.00 WIB kami memulai pendakian. Pada awal perjalanan, jalur masih landai karena kami masih melewati perkampungan hingga “Papringan” yakni kawasan akhir perkampungan yang ditumbuhi pring (Bambu). Setelahnya ladang penduduk sejauh mata memandang membuat perjalanan riuh-rendah dengan sapaan petani-petani kaki Gunung Sumbing.

Ladang sebelum Pos I

Sampailah kami pada tanjakan panjang terakhir sebelum Pos 1. Kami memilih beristirahat karena pos 1 sudah lumayan dekat. Hingga kemudian ada sesosok orang yang mengejutkan kami. “ Halo, aku Otoy Pajero”. Untuk beberapa orang yang pernah melakukan pendakian ke Sumbing, tentunya menjadi tidak asing lagi, namun buat kami jelas itu menjadi hal yang agaknya kurang lebih bisa dibilang mengejutkan.
Otoy menyalami kami seraya menanyakan nama dan asal kami. Anehnya entah mengapa dia menanyakan agama kami. Kami jawab saja asal-asalan. Karena untuk beberapa orang di antara kami, hal tersebut menjadi hal yang sangat pribadi.
Kami pun meneruskan perjalanan menuju Pos 1 dengan terlebih dahulu mampir di Air terjun untuk mengisi perbekalan air kami dan tentu saja menyempatkan untuk mengambil foto. Karena tidak menaruh kecurigaan apapun terhadap Otoy maka kami pun tidak menghiraukan ketika dia mengikuti tim kami hingga kemudian tragedy itu terjadi…
Otoy menaiki tebing diatas air terjun dan berteriak “ Heh Celeng..minggat!(hei, celeng (anak babi) pergi sana!). Tidak puas dengan reaksi kami, Otoy mulai melemparkan batu sebesar kepala anak-anak ke arah kami. Melihat situasi yang tiba-tiba memanas, kami memutuskan untuk turun lagi ke tempat yang lebih aman dan meninggalkan semua barang kami di air terjun.
Seperti yang kami duga, Otoy mengikuti kami dari belakang. Dia menggumam kata maaf. Dengan raut muka yang sungguh berbeda dari sebelumnya. Jelas kami tidak menurunkan kewaspadaan, karena benar saja setelahnya dia kembali berteriak. Akhirnya kami pun mengajaknya bicara dengan baik-baik meskipun dengan batu yang kami sembunyikan di balik badan masing-masing dari kami. Otoy menyetujui untuk meninggalkan tim kami dan kembali ke bawah. Kami pun meneruskan perjalalanan ke pos 1.
Juli agaknya menjadi sedikit istimewa dengan datangnya hujan. Dibanding dengan gunung-gunung lain, gunung kembar Sindoro dan Sumbing ini menjadi gunung yang lumayan susah ditebak cuacanya. Sampai kami berangkat tadi pagi, cuaca terik mendampingi perjalanan kami, hingga kemudian perjalanan menuju pos 2 hujan turun dengan rintik yang rapat. Pukul 15.00 WIB sampailah kami di pos 2. Untunglah belum ada pendaki yang mendirikan dome di sana. Pos 2 Sumbing terletak di ketinggian 2200 mdpl. Dengan luas yang tak seberapa hingga kami pun menggegaskan langkah agar tak keduluan untuk mendirikan dome di sana.
Kami bermalam di Pos 2, rencananya summit attack ke puncak akan dilakukan dini hari nanti. Saya sendiri memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Entah kenapa badan ini sedang tidak mau diajak kompromi.

Sindoro dari Puncak Sumbing

Gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 Mdpl menjadi gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah Setelah Gunung Slamet (3428 Mdpl). Meskipun saya telah sampai ke Mahameru, Gunung Sumbing memberikan suguhan yang begitu berbeda dari hemat saya ketika mendengar cerita mengenai Sumbing. Cuacanya yang berubah-ubah, medannya yang terjal dan licin, dan bagaimana kemudian ladang penduduk  memakan habis sampai sepertiga gunung menjadi catatan tersendiri ketika memutuskan untuk berangkat mendaki ke Sumbing. Stigma sebagai gunung yang tidak terlalu bersahabat inilah yang menjadikan saya menunda-nunda keberangkatan sebelumnya. Dalam hati, bukankah kami memang dipersiapkan untuk hal tersebut??
Kali ini Sumbing sungguh istimewa, saya benar menikmati perjalanan. Tidak ada halangan yang begitu berarti kecuali kejadian Otoy kemarin. Pelajaran berharga soal menilai sesuatu. Terimakasih sahabat ketingggian, kiranya esok kita akan kembali berbagi kehangatan lewat secangkir kopi di ketinggian yang tak biasa.

Mampir Ngopi di Kledung sesaat sebelum pulang

Yogyakarta 2011