Siang itu, beberapa diantara kami
sedang sibuk dengan ber-packing ria dan menciptakan slide gambar-gambar pendakian Slamet di
benak kami. Kebanyakan keperluan sudah di tangan,
tinggal dibungkus sedemikian rupa agar semua bisa terbawa. Jelas terbayang di
kami mengenai Standart Operasional
Prosedure pendakian. Tidak ada satupun peralatan yang boleh tertinggal. Saya
sendiri sudah membuat check list
untuk persiapan akhir. Hingga kemudian Angga mengirim sms ke sebuah nomor milik
TIM SAR Gunung Slamet. Entah kenapa dia melakukannya, karena sebelumnya tak
pernah kami melakukan konfirmasi untuk konfirmasi pendakian selain ketika kami melakukan pendakian ke
Gunung Gede-Pangrango.
Perasaan tidak enak disusul kemudian dengan jawaban yang datang melalui
pesan singkat yang menyampaikan bahwa Gunung Slamet ditutup sementara karena
sedang aktif. Padahal sebelumnya kami sudah mencari data melalui internet mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
pendakian Slamet. Meskipun ini ada perjalanan kali ke dua kami, namun saya dan
teman-teman tidak mau gegabah, pun karena perjalanan pertama saya itu sudah
sekitar 3 tahun yang lalu.
Sengaja kami tak memberitahu
teman-teman melalui pesan singkat mengenai kabar tersebut. Pastilah akan ada
banyak pertanyaan. Maka kami memutuskan untuk menyampaikannya ketika bertemu
(pada saat kumpul sebelum berangkat). Sudah terngiang dibenak kami macam
pertanyaan apa yang akan teman-teman sampaikan. Terus gimana Bang? Berarti kita
gak jadi naik gunung ya? Dan pertanyaan sejenis menggempur kami ketika
menyampaikan kabar yang kurang menggembirakan itu. Beberapa orang adik angkatan
kami yang sangat ingin ke Gunung Slamet sempat kecewa berat pasalnya, segala
hal telah dipersiapkan dan Tim tinggal berangkat saja.
Melewati diskusi yang pelik dan merancang penerobosan nekat,
akhirnya tim memutuskan untuk mengubah destinasi ke Gunung Sumbing. Malam ini kami berangkat langsung
menuju ke Desa Garung, di mana base camp Gunung Sumbing Berada. Menempuh 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Jogja,
relatif tidak terlalu jauh.
Pukul 24.00 WIB kami sampai di base camp
dan sedianya kami akan menginap sebelum start
pendakian esok harinya. Malam itu base camp
ramai, sampai kami hampir
tidak mendapatkan tempat untuk tidur. Tak banyak yang kami kerjakan malam itu
hanya beberapa dari kami berbincang dengan sesama pendaki yang ternyata juga
memilih mendaki Sumbing karena mendapatkan kabar mengenai ditutupnya Gunung Slamet. Ternyata nasib
kurang beruntung itu tidak hanya menimpa kami. Bahkan ada dari teman pendaki
tersebut yang sudah sempat menginap di basecamp Gunung Slamet, namun tetap
tidak diijinkan untuk mendaki. Tim SAR mengabarkan bahwa bau belerang tercium
sampai ke pos 5.
Pukul 09.00 WIB kami memulai pendakian. Pada awal perjalanan, jalur
masih landai karena kami masih melewati perkampungan hingga “Papringan” yakni
kawasan akhir perkampungan yang ditumbuhi pring
(Bambu). Setelahnya ladang penduduk sejauh mata memandang membuat perjalanan
riuh-rendah dengan sapaan petani-petani kaki Gunung Sumbing.
Ladang sebelum Pos I
Sampailah kami pada tanjakan
panjang terakhir sebelum Pos 1. Kami memilih beristirahat karena pos 1 sudah
lumayan dekat. Hingga kemudian ada sesosok orang yang mengejutkan kami. “ Halo,
aku Otoy Pajero”. Untuk beberapa orang yang pernah melakukan pendakian ke
Sumbing, tentunya menjadi tidak asing lagi, namun buat kami jelas itu menjadi
hal yang agaknya kurang lebih bisa dibilang mengejutkan.
Otoy menyalami kami seraya menanyakan nama dan asal kami.
Anehnya entah mengapa dia menanyakan agama kami. Kami jawab saja asal-asalan. Karena untuk beberapa orang
di antara kami, hal tersebut
menjadi hal yang sangat pribadi.
Kami pun meneruskan perjalanan
menuju Pos 1 dengan terlebih dahulu mampir di Air terjun untuk mengisi
perbekalan air kami dan tentu saja menyempatkan untuk mengambil foto. Karena
tidak menaruh kecurigaan apapun terhadap Otoy maka kami pun tidak menghiraukan
ketika dia mengikuti tim kami hingga kemudian tragedy itu terjadi…
Otoy menaiki tebing diatas air
terjun dan berteriak “ Heh Celeng..minggat!(hei, celeng (anak babi) pergi
sana!). Tidak puas dengan reaksi kami, Otoy mulai melemparkan batu sebesar
kepala anak-anak ke arah kami. Melihat situasi yang tiba-tiba memanas, kami
memutuskan untuk turun lagi
ke tempat yang lebih aman dan meninggalkan semua barang kami di air terjun.
Seperti yang kami duga, Otoy
mengikuti kami dari belakang. Dia menggumam kata maaf. Dengan raut muka yang
sungguh berbeda dari sebelumnya. Jelas kami tidak menurunkan kewaspadaan,
karena benar saja setelahnya
dia kembali berteriak. Akhirnya kami pun mengajaknya bicara dengan baik-baik
meskipun dengan batu yang kami sembunyikan di balik badan masing-masing dari
kami. Otoy menyetujui untuk meninggalkan tim kami dan kembali ke bawah. Kami
pun meneruskan perjalalanan ke pos 1.
Juli agaknya menjadi sedikit istimewa dengan datangnya hujan.
Dibanding dengan gunung-gunung lain, gunung kembar Sindoro dan Sumbing ini
menjadi gunung yang lumayan susah ditebak cuacanya. Sampai kami berangkat tadi
pagi, cuaca terik mendampingi perjalanan kami, hingga kemudian perjalanan
menuju pos 2 hujan turun dengan rintik yang rapat. Pukul 15.00 WIB sampailah
kami di pos 2. Untunglah belum ada pendaki yang mendirikan dome di sana. Pos 2 Sumbing
terletak di ketinggian 2200 mdpl.
Dengan luas yang tak seberapa hingga kami pun
menggegaskan langkah agar tak keduluan untuk mendirikan dome di sana.
Kami bermalam di Pos 2,
rencananya summit attack ke puncak akan dilakukan dini hari nanti. Saya sendiri
memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Entah kenapa badan ini sedang tidak
mau diajak kompromi.
Sindoro dari Puncak Sumbing
Gunung Sumbing dengan ketinggian
3371 Mdpl menjadi gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah Setelah Gunung Slamet
(3428 Mdpl). Meskipun saya telah sampai ke Mahameru, Gunung Sumbing memberikan suguhan yang begitu
berbeda dari hemat saya ketika mendengar cerita mengenai Sumbing. Cuacanya yang
berubah-ubah, medannya yang terjal dan licin, dan bagaimana kemudian ladang penduduk memakan habis sampai sepertiga gunung menjadi
catatan tersendiri ketika memutuskan untuk berangkat mendaki ke Sumbing. Stigma
sebagai gunung yang tidak terlalu bersahabat inilah yang menjadikan saya
menunda-nunda keberangkatan sebelumnya. Dalam hati, bukankah kami memang
dipersiapkan untuk hal tersebut??
Kali ini Sumbing sungguh
istimewa, saya benar menikmati perjalanan. Tidak ada halangan yang begitu
berarti kecuali kejadian Otoy kemarin. Pelajaran berharga soal menilai sesuatu.
Terimakasih sahabat ketingggian, kiranya esok kita akan kembali berbagi
kehangatan lewat secangkir kopi di ketinggian yang tak biasa.
Mampir Ngopi di Kledung sesaat sebelum pulang
Yogyakarta 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar