Sabtu, 12 Mei 2012

Ketika Bahasa Menjadi Batas




Saya masih ingat beberapa waktu lalu ketika saya menemani seorang teman dari Belanda yang magang di kantor tempat saya menjadi relawan. Bess, begitu saya memanggilnya. Dia memiliki ketertarikan untuk melakukan riset di kalangan pekerja seks di Sosrowijayan, Yogyakarta dan saya bertugas menemaninya untuk pengambilan data, mewawancarai beberapa perempuan pekerja seks mengenai kehidupan mereka. Saya rasa ini bukan hal mudah. Pertama adalah karena saya adalah relawan yang masih tergolong baru di isu pergorganisasian komunitas khususnya perempuan pekerja seks dan kedua, karena Bess adalah orang asing. Jadilah kami sama-sama orang ’asing’ yang berusaha mencari tahu mengenai seluk-beluk pekerja seks di Sosrowijayan.
Bess, melakukan riset ini sebagai tugas akhirnya di perguruan tinggi dan beberapa waktu lalau saya mendapat kabar darinya bahwa sekarang dia sudah lulus. Saya turut bahagia karenanya. Tapi bukan kebahagian itu yang akan saya sampaikan sekarang. Melainkan hal-hal yang kami hadapi ketika saya membantu riset Bess di Sosrowijayan.

Seperti yang saya sampaikan mengenai betapa sulitnya menggali permasalahan di kalangan pekerja seks pada awal tulisan ini. Saya dan Bess memulai riset ini dengan melakukan pemetaan di daerah Sosrowijayan, kemudian melakukan pemilihan beberapa perempuan pekerja seks untuk diwawancara secara lebih mendalam. Di sinilah semua berawal. Bagi teman-teman komunitas, bukan hal yang baru jika ada orang yang datang dan bertanya mengenai kehidupan mereka, tapi sekali ini yang datang adalah seorang warga negara asing.
Teman-teman komunitas pekerja seks merasa canggung dengan ruang perbedaan yang belum pernah mereka lampaui. Ruang perbedaan budaya atau secara teknis adalah bahasa menjadi satu alasan penolakan wawancara. Bahkan ketika saya menyampaikan bahwa saya akan membantu untuk menerjemahkannya. Awalnya saya berfikir permasalahan perbadaan bahasa ini bisa saya jembatani, tapi justru menjadi sulit ketika di lapangan saya menemukan yang sebaliknya. Habislah saya.
Hingga datanglah satu lagi kejutan Bess untuk saya. Dia sudah belajar bahasa Indonesia. Oh my God. Pada akhirnya dia menyapa beberapa orang yang akan diwawancara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya kira inilah yang membuat teman-teman komunitas pekerja seks yang menjadi narasumbernya merasa dekat dan pada akhirnya mau untuk diwawancara. Meskipun Bess belum begitu lancar berbahasa Indonesia, saya begitu terbantu dengan pemahamannya.
Satu lagi yang diberikan pendidikan Belanda yang mungkin saja, di Indonesia ini kamu tidak mendapatkannya. Kemampuan untuk menjadi seseorang yang bisa memetakan dengan baik. Thank’s Bess..it’s inspiring me..:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar