Saya bukan orang yang pernah pergi mengenyam studi di Belanda. Sekedar untuk singgah ke sana saja masih berupa impian yang sampai saat ini saya masih berusaha mewujudkannya. Awal ketertarikan saya tentang studi ke Belanda adalah ketika saya berkesempatan untuk menemani 2 orang berkebangsaan Belanda untuk magang dan melakukan riset di komunitas pekerja seks Sosrowijayan.
Mereka adalah Bess Doornboss dan
Maya Westerhof. Dua teman ini datang di
suatu siang ke kantor tempat saya menjadi relawan pengorganisasian komunitas
yang termarjinalkan. Mereka sedang datang ke Indonesia dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir di perguruan tinggi yang sedang mereka tempuh. Bess
melakukan riset mengenai kehidupan pekerja seks di Sosrowijayan atau yang lebih
dikenal dengan “sarkem” dan Maya magang di LSM kami.
Suatu saat saya sempat iseng
bertanya mengapa dia sampai jauh-jauh ke Indonesia untuk melakukan riset
mengenai pekerja seks. Karena kalau sejauh yang saya tahu, di Indonesia riset
kebanyakan dilakukan di Indonesia sendiri
atau kalau perlu tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan riset, apalagi
jika riset tersebut adalah riset untuk syarat kelulusan. Dia bilang justru
dengan melakukan riset di lain tempat (lain negara) ada rekomendasi yang bisa
disumbangkan karena kalau melihat pekerja seks yang ada di Belanda, mereka
sudah jauh di depan ketika berbicara mengenai HAM. Meskipun kemudian, memang
karena negara dan pemerintah sudah membangun sistem yang yang mempunyai
perspektif HAM juga. Mungkin salah satunya itu yang dibutuhkan di Indonesia,
jelasnya. Saya terus terang kaget dengan statement
pendek, namun lugas yang diberikan Bess.
Saya kira, kalau kebanyakan mahasiswa Indonesia tidak terlalu perduli dengan permasalahan disekitar mereka itu bukan karena mereka yang tidak perduli, namun karena sistem pendidikan di Indonesia tidak serta merta membuat peserta didik menjadi seorang yang peka. Berbeda dengan yang saya tangkap dari beberapa teman yang pernah mengenyam studi ke Belanda atau belahan dunia lain misalnya.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Belanda cenderung membuat peserta didik menjadi proaktif. lembaga pendidikan adalah sebuah sarana untuk memfasilitasi keingintahuan peserta didik bukannya malah membuat peserta didik enggan berfikir yang lain kecuali hal akademis. Lebih penting lagi adalah bagaimana fenomena-fenomena yag terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu adalah hal yang bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, maka fungsi pendidikan adalah memberikan berbagai macam sudut pandang tersebut. Itulah kemudian kenapa mahasiswa Belanda seperti Bess misalnya bisa memandang sebuah realitas dengan cara pandang yang beragam. Kalau saja sistem pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, maka kita tidak akan pernah diajarkan untuk menjadi judmental dan hanya berfikir secara parsial saja.
Tapi seperti semua perubahan yang butuh proses, semoga sistem pendidikan di Indonesia sedang berproses untuk lebih baik.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Belanda cenderung membuat peserta didik menjadi proaktif. lembaga pendidikan adalah sebuah sarana untuk memfasilitasi keingintahuan peserta didik bukannya malah membuat peserta didik enggan berfikir yang lain kecuali hal akademis. Lebih penting lagi adalah bagaimana fenomena-fenomena yag terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu adalah hal yang bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, maka fungsi pendidikan adalah memberikan berbagai macam sudut pandang tersebut. Itulah kemudian kenapa mahasiswa Belanda seperti Bess misalnya bisa memandang sebuah realitas dengan cara pandang yang beragam. Kalau saja sistem pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, maka kita tidak akan pernah diajarkan untuk menjadi judmental dan hanya berfikir secara parsial saja.
Tapi seperti semua perubahan yang butuh proses, semoga sistem pendidikan di Indonesia sedang berproses untuk lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar